Nonton film pada tahun 1950 bukan hanya barang mewah tetapi juga langka. Dan apalagi yang membuat film. Tapi Usmar Ismail mewujudkannya. Sebelas tahun setelah proklamasi kemerdekaan sang sutradara legendari Indonesia itu mewujudkan dua film sukses. Pertama film bergenre drama perjuangan berjudul “Darah dan Doa”, lalu disusul dengan film musikal ‘Tiga Dara’.
Cerita film itu sendiri berkisar soal perjodohan, pertentangan orangtua dan anak, serta berbagai intrikyang didalamnya. Semuanya disampaikan dengan sedikit dialog dan diperbanyak lagu-lagu. PemerAn tiga dara: Chitra Dewi, Mieke Widjaya, Indriati Iskak menunjukkan tiga karakter berbeda. Dan justru dari sana cerita muncul, berkembang, dan memperoleh sisi-sisi dramatis, meski digarap dengan semangat menghibur dan jenaka. Filem itu mendapat penghargaan Piala Citra dalam kategori Tata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia 1960.
Setelah enam pulah tahun berlalu tiba-tiba film jadul itu dibuat baru: diperbaiki, dipermak, dikembalikan pada kondisi semula. Tidak sepenuhnya seperti semula. Namun dengan kerja keras 17 bulan, dengan biaya sekitar 3 milyar rupiah, garapan 4K di bawah bendera PT Render Digital Indonesia dengan Yoki Soufyan sebagai pimpinan itu tak dapat dikatakan tanpa arti.
Pada preview yang dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2016 lalu tidak kurang 600 penonton memadati empat gedung bioskop di Metropole di kawasan Megaria Jakarta. Laporan betapa semarak, bersinar, dan semangat optimistis yang ditimbulkannya sangat kental terasa.
Teknis, Dukungan
Beberapa hal yang perlu mendapat apresiasi dari kerja keras merenovasi film lawas berjudul Tiga Dara itu, kiranya memberi gambaran tentang betapa masih ada sebagian orang dengan tenaga, pikiran, dan terlebih biaya mau bersusah-payah untuk menggali kejayaan masa lalu, khususnya dalam bidang perfilman nasional.
Secara teknis pekerjaan itu tidak gampang. Film-film lama dari satu frame ke frame berikutnya yang sudah rusak, setengah rusak dan sama sekali rusak dikembalikan lagi untuk memunculkan gambar dan suaranya. Teknologi pefilman dan terlebih digitalisasi memungkinkan pekerjaan itu dilakukan.
Hasilnya sungguh luar biasa. Tontonan lama dengan rasa baru dan canggih tersuguh kembali. Dan kiranya penonton dari berbagai generasi dapat disatukan dalam semangat mengingat, menghargai dan melestarikan capaian masa lalu. Itu tentu langkah awal dan pertama, dan menjadikan langkah berikut lebih mudah, lebih didukung, dimotivasi, dan terutama juga diapreasiasi oleh Pemerintah dan pihak-pihak terkait, swata, dan terlebih juga masyarakat luas.
Historis, Nasionalisme
Usmar Ismail adalah satu satu dari beberapa pencetak sejarah dalam dunia perfilman di tanah air. Pada masanya film bukan sekadar hiburan dan tontonan mengisi waktu luang. Ia juga berarti menumbuhkan semangat berbangsa dan bernegara, melahirkan nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa baru, diengah bangsa-bangsa lain yang baru merdeka dan banyak diantaranya yang masih terjajah.
Perjuangan lahir-batin mengusir penjajah, dan mengisi kemerdekaan, tentu bukan hal yang tidak penting. Namun ada hal lain yang kadang dilupakan, yaitu mencatatnya dalam bingkai kebudayaan, kesenian, sekaligus catatan kesejarahan. Nilai historis film-film pada awal tahun kemerdekaan, termasuk film Tiga Dara, menjadi luar biasa penting.
Dan nama 4K yang berinisiatif mengembalikan film Tiga Dara menjadi tontonan yang melampaui zamannya tentu menjadi catatan historis tersendiri.
Apresiasi, Generasi
Menonton film pada saat ini menjadi hal yang tidak istimewa. Layar televisi, peredaran video, serta tontonan melalui internet menjadikan karya seni itu hal biasa saja. Bahkan lambat-laun terkesan menjadi sebuah kebiasaan yang makin dijauhi.