Menulis judul dengan teknik dimirip-miripkan judul lain tentu tidak salah. Apalagi judul yang sudah ada dan sangat dikenal. Karenanya saya mencoba teknik itu. Saya  mengaitkannya dengan soal Lebaran, atau perayaan 1 Syawal yang menandai berakhirnya bulan Ramadhan. Kalau soal surga sudah ada judul novel karya pengarang produktif Asma Nadia, yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul yang sama.
Mungkin nanti menyusul judul serupa yang lain. Misalnya, Jabatan yang Tak Dirindukan, Rezeki yang Tak Dirindukan, atau Cinta yang Tak Dirindukan. Pokoknya yang enak-enak tetapi tidak dikehendaki.
Kenapa, Eforia
Lebaran merupakan puncak ibadah dari segenap amal-ibadah yang dilakukan selama bulan suci Ramadhan. Setelah sebulan penuh berlapar-dahaga sambil memperbanyak berbagai amalan, baik amalan sunah terlebih yang wajib, maka kiranya tidak ada muslim/muslimah yang tidak mengharapkan kembali kepada fitrah, suci, bersih, yang digambarkan sesuci bayi yang baru dilahirkan. Lalu kenapa ada yang menafikannya, menolak, dan bahkan tidak merindukannya?
Ada beberapa alasan. Salah satunya yaitu orang-orang yang memang merasa bahwa shaum pada bulan Ramadhan tidak ada artinya, boleh ditinggalkan, bahkan dibiarkan lewat begitu saja. Banyak muslim/muslimah karena satu atau beberapa alasan bersikap demikian. Bukan hanya orang-orang yang tidak berilmu agama memadai, tapi bahkan anak-anak ustad/ajengan/ulama memposisikan diri sebagai putra-puteri yang jauh dari kesadaran keislaman.
Ada pula orang yang merasa tidak berlebaran bila tidak mengenakan pakaian serba baru, tidak makan makanan serba enak, serta tidak mampu melakukan perayaan yang dinilai memadai misalnya membakar petasan, berlibur ke tempat yang jauh, pesta-pora, dan lain sebagainya. Bagi orang-orang ini Lebaran, tidak lain adalah perayaan dan pesta. Tanpa kedua hal itu mereka merasa tidak perlu ada Lebaran. Soal nilai-nilai kembali kepada fitrah, ajang bersilaturahim, dan  lainnya, tidak penting.
Ada lagi Lebaran yang dipergunakan untuk bertemunya sebuah keluarga besar dari berbagai derah dan pulau. Dan ketika bertemu berbagai pesoalan lama terungkap dan terungkit, sehingga terjadilah pertengkaran seru. Nuansa Idul Fitri tidak mampu meredan emosi, suasana bersilaturahim tidak mampu saling menjaga emosi. Maka Lebaran demikian sungguh tidk dirindukan.
Pasti masih banyak lagi contoh lain. Semisal pemudik menggunakan sepeda motor yang berakhir di rumah sakit (cedera atau tewas), pemudik yang kehilangan barang berharga karena dicopet/ dihippnotis/ditipu. Atau suasana lebaran yang justru dilanda musibah: tanah longsor, banjir, kebakaran, keracunan, tawuran antar warga, dan THR tidak cair. . . . .!
Dan yang pasti Lebaran tidak akan dirindukan oleh orang-orang nonmuslim. Rindu dalam arti ada dorongan kuat untuk menjumpainya. Padahal banyak diantara mereka yang memanfaatkan waktu Lebaran itu untuk liburan, untuk menghitung-hitung keuntungan bisnis memanfaatkan eforia belanja orang muslim selama akhir Ramadhan, dan terutama memanfaatkan kondisi kota yang relatif sepi karena ditinggal penghuninya mudik atau ke tempat-tempat wisata.
Tidak merindukan Lebaran karena berbagai alasan di atas dengan demikian sah-sah saja. Tapi kalau ada orang (apapun agama dan keyakinannya tentang surga) yang tidak merindukan surga, meskpun ada (orang yang tidak percaya bahwa surga itu ada, bahkan tidak percaya bahwa Tuhan itu ada), rasanya jadi aneh.
Aneh, Sensasi