Ini sebuah catatan pribadi, sangat pribadi malah, tapi mungkin menarik untuk disimak bagi warga bangsa yang mendambakan suasana sejuk dalam kehidupan saling bertoleransi. Kami pendatang dan tinggal bersama dua teman  pada sebuah rumah kontrakan di pinggiran kota Manado. Itu awal tahun 1983. Pilihan untuk menjadi karyawan sebuah stasiun televisi Pemerintah menempatkan kami di sana.
Layaknya pertemanan lainnya, meski kami relatif baru saling kenal, keakraban cepat terjalin. Beda suku dan agama sampai batas tertentu tidak membuat kami saling membelakangi. Saya dari Yogya, Wiwid dari Banjarnegara, sedangkan Bang Amos dari Jakarta. Saya dan Wiwid Jawa-Islam, Bang Amos Batak-Protestan. Sepulang dinas atau pada hari libur kemana-mana kami bertiga.
Kami mampu bertahan sebagai teman karena tidak pernah berbicara sesuatu tentang perbedaan kami. Obrolan sehari-hari selalu tentang hal lain, sehingga kami bebas mengomentari dan menilai tanpa pernah saling menyinggung perasaan-pendapat apalagi kepercayaan masing-masing.
Karena tugas, saya menemui berbagai peristiwa kemasyarakatan, keagamaan dan Pemerintahan yang ada di Manado, Minahasa, Sangihe-Talaud (waktu itu masih tergabung dalam satu kabupaten). Di sana apapun acaranya hampir selalu bernuansa agama Kristen. Mereka menonjolkan kearifan lokal dengan Mapalus (kerja bakti bergotong-royong dalam pertanian maupun pekerjaan lain), serta ungkapan khas ‘Sitou Timou Tumou Tou’ (memanusiakan manusia yang lain). Yang pasti ada aneka hidangan khas setempat diantaranya tinutuan (bubur Manado), binte biluhuta (sup jagung), rica-rica cakalang fufu, lalampa, dan papaya tono. Terkait daging apa saja yang dimakan, di sana ada lelucon ‘semua yang berkaki empat boleh dimakan, kecuali meja dan kursi’.
Soal memilih makanan ini sekali waktu saya pernah terjebak pada pilihan yang salah. Itu terjadi pada sebuah kawasan pegunungan di sekitar Tomohon. Sepulang pembuatan paket acara kesenian kru singgah di rumah makan itu terkenal dengan masakan ‘bak’-nya. Setelah beberapa saat berfikir, saya memilih makan jagung rebus saja.
Lama kemudian baru saya tahu ternyata dandang untuk merebus jagung di dapur pun dimasuki tulang-tulang ‘bak’. Astagfirullah! Yang membuat saya kesal sebab pada waktu itu kami datang bersama seorang penyiar yang muslim. Ia makan jagung bakar yang bebas dari tulang-tulang, dan membiarkan saya mengunyah jagung rebus padahal. . . . . !
***
Alasan pertemanan seringkali menempatkan saya pada pilihan sulit. Saat itu pertengahan 1980-an. Ada acara pernikahan. Hari yang ditentukan pun tiba. Mempelai laki-laki bersiap dengan mengenakan jas, gagah dan penuh senyum. Demikian pula mempelai perempuan mengenai pakaian pengantin terbaik.
Pernikahan dilangsungkan di dalam Gereja Protestan. Selain pendeta dan pasangan calon pengantin itu hanya saya dan Wiwid Berbeda dengan perkawinan dalam Islam, saat itu -dalam ingatan saya- hanya ada seorang Pendeta yang meresmikan pernikahan itu. Kami memaklumi apa yang mungkin terjadi pada upacara sakral namun hanya dihadiri beberapa orang saja itu.
Menurut dugaan saya, mungkin karena keluarga pengantin lelaki yang Protestan ada di Jakarta dan Medan sana; sedangkan keluarga pengantin perempuan warga setempat penganut Katholik. Meski sesama Kristen terlihat seorang penganut Protestan maupun seorang penganut Katholik akan saling menghindar untuk menuju ke altar gereja. Begitupun terbukti soal jodoh dapat  berbicara lain.
***