Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kegagalan dan Optimisme, Catatan pada Dua Puluh Cerpen

24 Januari 2015   03:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:29 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dibandingkan dengan menulis laporan dan opini, menulis fiksi khususnya cerpen betul-betul mengandalkan imajinasi, inspirasi, ide, dan pengembaraan pikiran sejauh-jauhnya. Bahkan pun imajinasi itu boleh segila-gilanya, entah sampai kemana. Sesuai sebutannya yaitu fiksi atau fiktif, maka banyak hal yang memang tidak benar-benar terjadi di dunia nyata.

Begitupun satu hal yang harus dipegang erat, dan ini modal yang sama dengan penulisan laporan maupun opini yaitu alur dan logika cerita harus logis. Itu berarti tidak boleh membuat logika yang sama sekali berbeda dengan kenyataan hidup manusia, satwa, tumbuhan, dan alam lingkungan manusia.

Dengan pemahaman itu saya ingin mengulas cerpen saya sendiri yang sudah saya posting di Kompasiana. Jumlahnya tepat 20 judul. Ada satu judul yang terdiri atas empat subjudul  yaitu Empat Cerita Penjemput Maut, dan ada dua judul cerpen yang dengan pertimbangan tertentu saya posting terpoton tiga kali, yaitu Jodoh untuk Rasimah, dan Lukisan Sampah.

Jalan Hidup, Cerita Tertulis

Tiap penulis fiksi punya minat yang berbeda dalam memilih tema. Pilihan itu dapat ditelusuri dari latar belakang pemikiran serta kehidupan pribadinya. Mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, hingga hobi.

Dari aneka peristiwa sehari-hari, yang kita alami maupun tidak, muncul berbagai cerita yang kita peroleh dari tuturan lisan dari mulut ke mulut. Cerita itu ditambah dan dilengkapi dengan berita dari media. Dari sana kita memiliki pemahaman, pengertian, tahu dan meyakini sesuatu, dan seterusnya.

Semua itu menjadi bahan yang sangat banyak untuk menyusun cerita fiksi. Cerita yang semula samar-samar karena masih tersimpan rapat di dalam otak, untuk selanjurnya diwujudkan dalam rangkaian kata-kalimat-alinea-bab dan seterusnya. Kalau disusun dalam rangkaian visual menjadi shot, scene, sequel. Persamaan keduanya yaitu adanya bingkai atau frame sebagai pembatas agar alur cerita tidak melebar kemana-mana.

Beda antara cerita nyata dengan fiksi terutama dalam hal rangkaian waktu dan ending. Hanya cerita sejarah yang dapat ditelisik perkembangan cerita terkait perjalanan waktu, sedangkan fiksi murni tidak. Artinya, orang akan segera tahu –tidak perlu menunggu lama- perkembangan cerita, bahkan kemudian juga ending atau klimaks ceritanya.

Misteri yang menyelimuti perjalanan alur cerita yang akan bermuara pada ending inilah yang menjadikan pembaca fiksi dan penonton sinetron atau film merasa penasaran -karena keingintahuan yang besar- untuk bertahan membaca/menonton sampai selesai. Dari pengalaman dan pengetahuan sehari-hari itulah seorang penulis fiksi mewujudkannya dalam cerita tertulis.

Kematian, Gampangan

Kematian menjadi misteri lain -selain alur dan ending- sehingga sangat asyik menuliskannya. Tentu cerita model begini cocok untuk mereka yang tidak alergi terhadap kengerian, kesakitan, dan ketidakberdayaan seseorang pada akhir hayatnya. Pada cerita saya pun kematian cukup dominan, ada sembilan judul dengan peristiwa kematian di dalamnya.

Dari judulnya saja sudah terlihat arah cerita, yaitu Pembawa Kabar Kematian, dan Empat Cerita Penjemput Maut. Kematian pada cerita lain disebabkan kecelakaan, bunuh diri, tenggelam, dan dimangsa binatang buas.

Mari kita baca ulang alinea yang menggambarkan peristiwa kematian itu:

==

Kecepatan sepeda motor tidak kukendorkan, meliuk-liuk di banyak tikungan pada jalan mulus. Melintasi hutan pinus, kemudian ladang sayur-mayur, dan perkebunan teh. Lalu seseorang tiba-tiba melintas. Seperti muncul dari balik rerimbunan, dan mendadak sekali sudah di tengah jalan dengan sikap bingung. Aku tidak sempat bereaksi, begitu cepat semua terjadi, dan tubuh itu terpelanting. Motorku melambung kencang seperti terbang, berakhir di tembok pembatas jembatan dengan sungai kecil di bawahnya.(Cerpen Pada Tikungan Terakhir, Saat Gelap dan Gerimis).

==

Mak Limah hendak mengatakan sesuatu ketika mendadak tangannya direnggut. Juga lengan, kaki, dan kemudian sekujur tubuh yang kurus dan sarat penyakit. Mak Limah tidak perlu berjalan sendiri. Tandu besar itu memboyongnya dengan sangat cepat. Tamu kecilnya sudah lebih dulu terenggut sang pengangkut.

Mak Limah hanya bisa melambai-lambaikan tangannya. Ia tidak sempat berpamitan pada tetangga dan teman-temannya. Memang pernah ia berbicara kepada Gusti yang selama ini dirasa sangat jauh. -Duh Gusti, aku telah menerima banyak tamu, meski dalam kondisiku yang sangat hina ini. Kuperlakukan mereka dengan sekemampuanku. Kini izinkan aku bertamu ke rumahMu!- (Cerpen Mak Limah Pergi Untuk Bertamu)

==

Hampir satu tahun, tidak ada lagi bahan bangunan yang datang. Tapi suara batu dilemparkan, dan membentur keras batu lain itu masih terdengar sampai kini.  Waktunya bukan hanya pagi, siang, atau sore, tapi tengah malam. Konon itulah suara yang menandakan Mak Nuriyatini masih setia menunggu Wajiran!

Rumah reyot itu sebulan lalu ambruk di hajar angin puting-beliung, ditengah hujan lebat. Mak Nuriyatini terkapar di bawah  tiang rumah, dengan badan masih utuh, tapi sudah tidak bernafas! (Cerpen: Empat Cerita Penjemput Maut, Perempuan Pemindah Batu)

==

Gelap malam masih juga setia mengirim curahan air menderas, sangat deras, disertai kilat dan guntur yang gemuruh di langit. Mas Sindu sejenak terlena. Ia sedang berpikir sesuatu ketika sejenak senyap. Lenyap, kosong, dan gelap! Dalam laju maksimal, dua belas ban berputar kencang dan diseling derit rem dan gas, dalam licin jalan aspal mulus, sesuatu seperti melintas begitu mendadak.

Mas Sindu terpesona, beberapa detik, sebelum benturan keras. Pohonan sekelebat, lalu rumah rumah tembok, warung makan-minum, tanggul, dan akhirnya terbalik tepat di depan gerbang mesjid! Serupa ledakan keras. Para penghuni rumah dan warung berceceran tidak sempat melarikan diri!

- Hampir subuh! Kita singgah di mesjid!- denging suara di telinga Mas Sindu, itu suaranya sendiri yang bergema.

-Tumben?- komentar Masrul dengan nada tengik.

Mas Sindu seperti didera kenangan masa lalu. Hujan masih menderas kala pengemudi dan kernet tronton itu tergagap kehilangan nafas. (Cerpen Perjalanan Menuju Subuh).

==

Kematian bisa menjadi penutup cerita, tetapi dapat pula menjadi awal cerita. Agak gampang, bahkan sering terasa gampangan. Keduanya bagi saya sama-sama merangsang imajinasi dalam mengembangkan konflik pada sebuah cerita pendek. Pilihan itu didasari pula pada ajaran agama yang mengatakan ada dua

Absurd, Gila

Kelebihan fiksi adalah pengembaraan imajinasi yang tanpa bingkai, melebar dan meluas serta mendalam, hingga menemukan titik temu antara cerita awal, konflik, dan penutup atau ending. Harus ada hubungan sebab akibat yang jelas, harus ada topik obrolan yang beragam dan beda dibandingkan cerita lain dengan tema yang sama. Soal klimaks tidak jarang penulis menyerahkannya kepada pembaca sendiri bagaimana sebaiknya.

Kembali ke soal pengembaraan imajinasi, kalau sebuah cerita sudah terlalu melambung jauh dari kenyataan, jalan keluarnya adalah menjadikannya cerita absurd, atau setidaknya gila pada karakter di dalamnya.  Itu yang sama lakukan, walaupun tidak selalu berhasil.

Berikut beberapa contoh absurditas dan kegilaan yang saya tulis.

==

Joni, si Ketua Suku, memerintahkan pesta digelar lewat tengah malam nanti.

“Kumpulkan semua anggota suku. Siapkan semua makanan, musik, tarian, dan bahan bakar. Khusus persediaan daging mesti ditambah barang sebelas kepala lagi. Maka pergilah ke desa sebelah untuk mencarinya. Kalau sampai tengah malam belum kalian dapat, maka anak dan isteri kalianlah penggantinya untuk dipanggang dan digarami sehingga cukup lezat untuk dilahap beramai-ramai. Mengerti semua?!”

“Siap,  Paduka Raja! Perintah dilaksanakan. Kami berangkat!” pekik seorang prajurit, pimpinan regu, lalu serta-merta berdiri tegak mengatur barisan, menunggang kuda-kuda gagah, dan beranjak ke utara.

Di jalanan pemimpin regu masih dapat juga bercanda. “Tak apalah malam ini kita kehilangan buruan, toh aku punya isteri lima dan anak tujuh belas. Kalau cuma tiga sampai lima dari mereka harus dipanggang, masih ada yang lain. Kegagalan kita malam ini, kalau memang harus gagal, bukan hal yang memalukan!  Hahaha. ..”

“Kadang-kadang aku bahkan berselera untuk makan anakku sendiri!” tambah prajurit lain tak kalah sadis. (Cerpen Dunia Para Kanibal)

==

Dan sejak itu tanpa sebab jelas  makin banyak saja pertengkaran keluarga, adu mulut, saling gertak, berkelahi, dan saling ancam. Soal mengasuh anak, masalah gaji, persoalan pekerjaan, persaingan bisnis, kerumitan selingkuh, soal kecenburuan sosial antar tetangga, bahkan soal remeh-temeh lainnya. Ketika pertengkaran berlangsung mendadak Kandar dan Sartiwi datang, berdiam, dan menonton. Tepat sesaat sebelum pertengkaran hebat dimulai.

Kalau dalam semalam ada dua atau tiga pertengkaran keluarga, di tempat-tempat itu pula kedua pasangan itu selalu muncul,  dan dalam waktu yang bersamaan! (Cerpen Pertengkaran Suami-Isteri, Diusir, dan Berakhir di Bui)

==

Mata Harnani kembali menerawang. Setua ini terpaksa diambilnya keputusan yang pahit. Tak sanggup lagi ia mendengarkan tawa Kakek Sarmun bin Sahili suaminya. Suara tertawa itu selain panjang berliku-liku, lantang, dan seperti meledak-ledak; pada beberapa minggu terakhir ditambah dengan caci-maki dan sumpah-serapah, semua kata jorok disumpalkan begitu saja di sana. Ia tidak lagi tertawa di dalam kamar, di ruang tamu, di teras, dan di halaman, tetapi juga pada setiap pertemuan dengan warga, pada rapat perusahaan, di pesawat, di mesjid, di pasar, dan di kantor kecamatan.

Semua yang dilontarkannya, jika ditelusuri seksama memang tidak sepenuhnya salah. Tapi semua orang telanjur tidak suka, berprasangka buruk, bahkan antipati. Kek Sarmun bin Sahili mungkin benar, tapi cara merespon apa saja yang dihadapinya haruskah seburuk itu?

Dan sejak itu setiap orang menjauhi Kek Sarmun bin Sahili. Di belakang mereka bahkan mereka menyilangkan jari telunjuk di dahi. Diiringi dengan bisik agak keras: -Dasar sinting! Gila!- (Cerpen: Suara Tertawa, dan Mudik yang Terakhir)

==

Membuat cerita fiksi hampir sama dengan membuat lukisan, maksud saya bahan bakunya sama, yaitu peristiwa dan pikiran nyata, kemudian dipadukan dengan ide atau gagasan serta angan-angan atau khayalan. Ide dan angan-angan itu dapat dengan mudah diwujudkan, namun seringkali tidak mungkin. Dengan bahan baku dan bumbu aneka pemikiran si penulis maka cerita pendek dimaksudkan untuk bermain-main dengan perasaan dan logika pembacanya. Cerpen dapat pula menjadi bacaan filosofis, agamis, atau sekedar hiburan dan humor. Bagi saya sendiri, semua cerita yang saya tulis tidak lebih dari sekedar hiburan.

Nikah, Selingkuh

Peristiwa menarik lain yang banyak dibuat cerita yaitu pernikahan dan perselingkuhan. Saya pun membuat setidaknya empat cerita pendek dengan tema itu. Soal jodoh itu tali-temali dengan persoalan patah hati, janji, bujang lapuk, malah juga pengkhianatan serta perselingkuhan.

Berikut cuplikan cerpen yang saya maksudkan.

==

Dan seperti kuceritakan diawal, pembicaaan seperti tak pernah selesai. Sayang Maswir harus turun, dan Lisna pun akan segera ketemu suaminya. Aku sendiri harus turun di ujung jalan Tuparev, sebelum sampai terminal.

Telepon seluler Lisna berdering dan segera diangkat. –Sekarang sudah sampai Palimanan, Pa, sebentar lagi sampai. . . . .!- ucapnya dengan bahasa Sunda halus meski tanpa mendengar betul pertanyaan si penelepon. Ia sibuk melayani teman sebangkunya yang segera pergi. Padahal suara di ujung sana itu jelas suara suaminya yang bertanya dengan bahasa Jawa halus. Itu telepon ke sebelas dari sang suami sepanjang perjalanan Bandung-Cirebon dengan bus patas. (Cerpen Awal Sebuah Perselingkuhan)

==

Seminggu kemudian, pagi-pagi  isteri saya, Mulyani, sudah bikin berita. Katanya,  Pak Darji bin Sentanu pergi dari rumah. Cerita itu melalui sms dari Bu Ratri, lalu ke Mak Dunak, lanjut ke Jeng Praptini, dan dari sana melalui BBM menyebar sampai jauh. Betul Pak Darji lari, alias minggat dari rumahnya untuk selingkuh. Para tetangga tentu segera tahu. Bu Ramlah menangis menjerit-jerit seperti orang kehilangan akal.

Darji-Ramlah belum genap lima tahun membangun keluarga. Anak sudah dua, kecil-kecil, lucu menggemaskan, lelaki-perempuan.

-Ibu perlu lebih sabar ya. . . ., saya lihat Pak Darji memang banyak berubah.. .!- kata saya kepada Bu Ramlah yang terlihat lemas dan pucat.

-Begitu, ya Pak? Apakah saya salah menangisi suami yang pergi untuk kawin lagi, Pak? Kurang apa saya mencintai dan mendukung semua pekerjannya, cita-citanya?!- jawab Bu Ramlah dengan penuh emosi. (Cerpen Darji Minggat untuk Selingkuh)

==

Darah muncrat dari tubuh yang terluka. Prajurit Kasno kaget bukan kepalang. Ia cepat berlari ke arah gadis yang tanpa sengaja ditembaknya itu. Kerumunan orang yang hendak menyelamatkan diri dari kebakaran seketika tercerai-berai. Ada yang menjerit, yang lain berteriak-teriak histeris. Mereka mengira gerombolan bersenjata menghadang dan akan menghabisi mereka.

Surtini jatuh tepat dalam pelukan Prajurit Kasno. Tubuh gadis itu lemas, wajah pucat pasi. .. .! Prajurit Kasno terduduk tak mampu berkata-kata. Kalau saja tadi ia mendengarkan larangan Prajurit Marjuki tentu akan lain kejadiannya. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur! (Cerpen Janji Setengah Abad Silam)

==

Jodoh? Siapa sangka? Rasimah ketemu Pak Bos hanya satu contoh kecil.Di daerah hitam itu masih banyak hal-hal aneh, Bisa jadi ajaib. Mak Jalak tua-renta kawin dengan Turmin yang baru lulus SMP. Turis bule menikahi Luluk yang penyakitan dan jarang dapat tamu. Ada pula Darsi yang berubah jadi Kadar untuk bisa mengawini Melani. Japra yang nekat menenggak racun tikus karena Kanti selingkuhannya dibawa kabur si pacar baru. Murni jadi Mami belasan lelaki muda dan punya tiga suami. Dan banyak lagi cerita lain.

Lantas perihal Rasimah, apanya yang aneh?

Rasimah tidak pernah merasa diri cakep. Dan kenyataannya memang sama sekali tidak cantik. Hidung, mata, dan bibir di wajahnya seperti tak tertata dengan pas. Proporsi dan letaknya kurang terjaga. (Cerpen Jodoh ntuk Rasimah)

==

Diunggulkan, Miskin Peminat

Cerita pendek yang rumit agaknya kurang disukai pembaca, terlebih juga Admin. Cerita yang lebih kontekstual dengan banyak fakta yang sedang hangat diberitakan pada media mainstream lebih disukai. Perhatikan saja pada 14 fiksi yang memiliki hits terbanyak pada tahun 2014,  sebagian besar dengan tema yang berkaitan dengan peristiwa politik mutakhir. Judul yang menggigit, dan isi cerita yang ‘nendang’, menjadikan cerita-cerita favorit itu laris manis bak kebab panas di jajakan di tengah pasar malam. Sayangnya, kelemahan saya pada ketidakmampuan mengejar imajinasi kontekstual itu

Dari 20 cerpen saya hanya satu yang diunggulkan menjadi HL, itupun pembacanya sekitar 500-an orang saja. Temanya tentang keterdesakan hidup karena kemiskinan, dan berakhir dengan tragis.

==

Dalam pandangan Suli yang nanar, sementara hari makin siang saja, seutas tali berkelebat di pelupuk matanya. Tali plastik usang dua-tiga meter milik kakaknya untuk mengikat barang-barang rongsok. Dengan seutas tali itu ia menemukan jalan lain yang dirasakan sangat pas untuk nasibnya.

Maka cepat ia mencari sesobek kertas. Ada pensil tumpul, dan menulis dengan air mata menetes deras: ”Mas Mardiyo, biarlah aku pasrah untuk pergi membawa nasibku. Daripada terus-terusan merepoti Mas. Aku sungguh minta maaf. Aku pamit untuk pergi  saja!  Doakan aku, Mas! Wassalam. Adikmu Suli.”(Cerpen Orang-Orang yang Menyerah)

==

Sebaliknya yang miskin peminat lebih banyak. Jumlah pembaca memang sangat ditentukan oleh penilaian dan minat Admin untuk menentukan panjang atau pendeknya waktu muncul di HL/TA atau sekedar numpang lewat untuk segera dilupakan.

Berikut dua cerpen yang sangat minim pembaca, hanya sekitar 50 orang. Tentu memprihatinkan, namun begitulah selera orang. Tentu ini berkaitan dengan peruntungan atau nasib baik juga yang belum mempertemukan tulisan dengan pembacanya dengan jumlah yang lebih banyak.

==

Nyanyian itu mengalun dengan suara parau, serak, dan sama sekali tidak ada merdunya. Telinga yang mendengarnya pasti merasakan ketidak-nyamanan, jangankan terlena, suara itu justru seperti menendang-nendang gendang telinga dengan sadis. Hingga tengah malam suara nyanyian terus meninggi, merendah, menggertak, lalu mengancam. Tak henti. Sampai Bripda Pambudi menggebrak pintu besi kamar tahanan, maka seketika bungkam.

“Berisik! Mana sumbang, jelek, bikin rusak telinga. Kau pikir hanya kamu yang harus melupakan kesedihan dengan bernyanyi? Nyanyianmu membuat orang lain sakit kepala, tahu!”

Rokmini yang ada di balik jeruji ditangkap semalam karena mejeng di depan toko bahan bangunan Jalan Simpang, dekat dengan kelab malam yang ramai oleh pengunjung. (Cerpen Nyanyian di Balik Jeruji)

==

Pagi berikutnya nenek itu sengaja mencegat di jalan, dan menitipkan sekotak roti isi coklat dan keju untuk Pak Kepala Sekolah. Dengan sikap sangat santun, nenek yang masih langsing dan menampakkan sisa-sisa kecantikan itu berkata. ”Biarlah beliau sarapan sebelum mengajar. Saya dengar dari Danan, cucu saya,  ia menjadi bujang lapuk, dan tetap bertahan karena pernah patah hati?”

”Terimakasih. Nanti saya sampaikan kepada Pak Kepala Sekolah. Saya kenal baik beliau, saya tukang kebunnya. . . . .!” ucap Pak Sunar dengan suara ditekan dan terus menunduk di balik topi pandannya. Sadar ia, kini pun ia tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Pada masa muda setidaknya masih ada kenekatan. Kini tak lagi bersisa apapun, apalagi berhadapan dengan ibunda Pak Jaya, ’the big bos’ yang sangat kaya, pintar dan berwibawa itu. Ia makin ciut saja untuk mampu menutupi gejolak hati. (Cerpen Pagi Alangkah Renyah).

==

Sebagian besar cerita saya ternyata masih dalam tataran numpang lewat, dan itu menyadarkan saya untuk menulis dengan lebih baik. Meski –mengherankan sekali- yang namanya ’baik’ untuk cerpen gratisan di blok keroyokan Kompasiana harus terus ditelisik sampai jauh. Sampai dimana entah. Karena yang menilai sebelum posting adalah diri sendiri!

Penutup

Dua puluh cerpen yang mengetengahkan dua puluh tema berbeda, dengan ending yang telah optimal diupayakan untuk berbeda pula, namun hasilnya belum memadai. Masih kurang menggigit menurut kacamata pembaca tentu saja penyebabnya, kurang berwarna-berasa, dan bermuara pada kurang bermutu. Jadinya saya harus kembali lebih serius-fokus-bagus untuk mengolah imajinasi pada cerpen-cerpen berikutnya.

Demikianlah sekelumit catatan perjalanan kreatif saya dalam menulis cerpen. Kata kegagalan pada judul di atas kiranya mesti diberi tanda petik, agar tidak diartikan patah semangat, dan sebaliknya mampu memelihara optimisme terus-menerus dalam berkreasi-berimajinasi-berfantasi menulis cerpen di Kompasiana. Mudah-mudahan penulis cerpen lain –yang kualitas cerpennya masih tingkat belajar seperti saya- termotivasi terus menulis penuh semangat membara tak kenal kata menyerah…..! Begitu saja. Wassalam.

Bandung, 23 Januari 2015

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun