(Kartini RTC) Tiga Wanita Dibalik Cerita
[caption id="attachment_411445" align="aligncenter" width="640" caption="sumber gambar - travel.detik.com"][/caption]
LUBANG itu tiga atau empatpuluh meter dalamnya dari permukaan tanah. Jalan memanjang ke samping, dengan perjuangan keras untuk menembusnya. Di sanalah tiga atau empat orang penambang tradisional menggantungkan hidup. Hanya dengan cangkul, linggis, dan beberapa peralatan sederhana lain. Dalam kelam, gelap, dan ruang sempit mereka menantang maut.
Ancaman tanah runtuh dan gas beracun selalu menghantui. Ancaman terendam air bah dari permukaan tanah tak kalah menakutkan. Namun bijih emas yang digali, dan terus digali, menandai harapan hidup. Bersamaan dengan itu tidak ada bahaya yang perlu ditakuti kerena semua hasilnya demi menghidupi keluarga.
Taryan membayangkan isterinya di rumah mengerjakan apa saja meski pendapatannya tidak menentu. Sementara biaya sekolah anak-anak, bayar kontrakan rumah, dan biaya dapur setiap hari tidak mungkin dielakan. Entah kenapa ia ingat isterinya: “Kalau ada apa-apa dengan keselamatanmu, biarkan aku menggantikan pekerjaanmu sebagai penambang. Aku cukup kuat, dan sangat tahu resiko yang harus dihadapi!” Itu kata istrinya suatu hari ketika Taryan hendak berangkat bekerja, menaiki truk bak terbuka bersama belasan teman-temannya di Blok Cikahalang Lebak.
Perempuan setengah baya itu lahir di sebuah dusun terpencil disela gunung Merapi dan Merbabu, dan mempunyai seorang adik lelaki bernama Sarkin.
===
APA yang bisa dibayangkan selain kesulitan. Tapi itu tantangan, daya tarik besar, dan banyak anak muda yang nekat untuk membuktikan kemampuan dirinya. Banyak yang mampu bertahan, namun selebihnya menyerah pada keterbatasan bahan makan, kabut pekat, dingin membekukan, dan tersesat.
“Mereka mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang diyakininya. Sekedar mencari jati diri, pembuktian diri, atau justru hanya satu bentuk kesombongan. Sayangnya, mereka kadang tanpa persiapan dan perhitungan yang matang….!” gumam Pak Sarkin seorang diri ketika melambaikan tangan dari balik jendela kepada beberapa remaja yang meninggalkan Pos Penjagaan Selo.
Pak Sarkin menutup buku tebal bergaris untuk catatan lengkap para pendaki. Ia berencana membuat kopi panas ketika seorang gadis tergesa memanggil namanya dari luar pintu. “Masuklah, Nak! Ada yang ketinggalan!” Gadis dengan pakaian pendaki itu rupanya salah satu dari rombongan yang tadi datang untuk mendaftar. “Saya mau tanya, Pak. Apa betul seminggu ini ada beberapa anggota rombongan tersesat dan ditemukan dalam kondisi kritis?”
Pak Sarkin tidak dapat segera menjawab. Ia membayangkan anak perempuannya bakal seumur gadis di depannya itu kalau saja dapat diselamatkan. Ya, gunung Marbabu telah merampas jiwa anak gadisnya. Dan itu membuatnya tidak dapat segera menjawab. Ia ingat kata-kata puterinya: “Setiap pendakian ada resikonya. Dan mendaki gunung menjadi salah satu pembelajaran tentang beratnya menjalani kehidupan sebagai anak perempuan, mungkin juga sebagai seorang ibu dan seorang isteri suku Jawa. Jadi biarkan saya coba ketangguhan saya menghadapi kodrat ini, Pak!’
Dipandanginya sekali lagi gadis itu. Wajah dan postur tubuhnya yang kukuh mengingatkan Pak Sarkin pada Sastri, salah seorang teman anak perempuannya yang setahun lalu pamit untuk bekerja ke ibukota. Sastri sangat sopan dalam bertutur-kata, bertingkah-laku, dan menghormati orangtua layaknya puteri kraton.
===
BELUM lagi selesai mengepel lantai, pekerjaan lain untuk menunggu: mengangkut barang ke lantai lima. Tidak boleh lewat lift, harus naik tangga. Padahal ada empat koli, dan tampaknya berat pula. Sastri mempercepat pekerjaannya. Keringat menetes deras dari dahi, pipi, lengan, dan sekujur tubuh. Bukan lelah yang dirasakan, tapi justru tambah segar.
Keringat deras mengucur menandakan badan yang sehat. Dan untuk mempertahankan kesehatan badan harus bekerja. Itulah yang dilakukan Sastri. Pagi sampai siang bekerja sebagai seorang cleaning servis, sore berjualan kue keliling dari satu kios ke kios lain, dan malam hari mencoba aneka keterampilan: membatik, menari Jawa, menabuh gamelan, mencoba aneka kuliner, dan tekun latihan bahasa Jepang.
Tengah hari saat jam istirahat seorang pimpinan perusahan entah kenapa menatap Sastri lama. Seperti ada sesuatu yang ingin diucapkan. Namun urung. Lalu melangkah cepat, belum sepuluh langkah ke arah lift, ia kembali.
“Aku cuma heran kenapa perempuan seperti kamu memilih menjadi petugas Cleaning Servis. Apa tidak ada pilihan lain yang secara fisik lebih ringan?” ujar Bu Rosma, itulah memang nama bu bos. “Apa kamu tidak mengasihani dirimu sendiri?” beberapa saat kemudian” “Oh, maaf jika pekerjaan saya ini merisaukan ibu. Tapi saya sungguh tidak apa-apa. Saya merasa sehat dan kuat untuk melakukannya…..!” jelas Sastri tanpa bermaksud menyombongkan diri. Tentu tidak perlu ia menjelaskan bahwa tiga bulan lagi ia akan berangkat ke Jepang. Ia berbulat tekad menyusul kakaknya yang lulusan SMK, dan telah lima tahun ini bekerja keras di negeri itu.
Bandung, 20 April 2015
Dan juga silakan bergabungDISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H