Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jodoh untuk Rasimah (Cerpen #3)

27 Desember 2014   05:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:23 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14196082961193814484

[caption id="attachment_386291" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar : fredhatt.com"][/caption]

TIGA

PAK BOS betapa pun memiliki sosok gagah-perkasa, rambut putih, dan berpenampilan sangat mewah. Koleksi mobilnya sampai belasan. Pak Bos wiraswastawan terhormat. Beda dengan yang lain, ia tidak pernah selingkuh apalagi main perempuan murahan. Namun ia bukan lelaki yang mudah dikendalikan.

Dengan isteri tiga orang yang muda, cantik-molek dan seksi belaka, minatnya belum berkurang. Bos sudah minta yang keempat. Dan kelak bukan tidak mungkin minta yang kelima, keenam, ketujuh, kesebelas, dan seterusnya. Stamina dan gairah kelelakiannya pada perempuan entah bagaimana awalnya seperti tak pernah terpuaskan.

-Ya, terus bagaimana Pak Bos bisa kenal dengan Rasimah yang telah belasan tahun berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain itu?- tanya Wantini penasaran. Mata rabunnya mendelik seperti tercekik –Di sini ia belum satu bulan, kan? Mana mungkin?-

-Biar bola matamu mencelat keluar, kau tidak akan paham!- jelas Mang Jejen.

-Cepat ceritakan, Mang?-

-Upahnya apa? Ini sangat rahasia ini, harus ada upah!-

-Nih!- kata Wantini sambil menggoyangkan pantatnya yang tebal seperti bantal bersusun tiga. –Kapan saja kamu mau! Tapi ceritakan dulu apa rahasianya!-

-Ini yang kudengar, entah benar atau tidak! Pak Bos, gagah-perkasa, rambut kapas, dan sangat mewah itu kuat berolahraga, kuat makan obat dan herbal khusus lelaki, kuat yoga, kuat makan darah ular, dan kuat...... Belum lagi terapi, dari yang lokalan hingga ala Korea, India, China. Ketiga isterinya barangtentu kewalahan untuk melayani. Meski sudah dibuat shift jelas, ada saja yang suka mangkir. Untuk jalan keluar mereka sepakat mencarikan isteri keempat. Ada pikiran licik ketiga isteri itu agar Pak Bos berhenti pada yang keempat......!- Mang Jejen menarik nafas.

Wantini merangsek.

-Mereka mendatangi seorang germo di sini untuk mendapatkan perempuan spesial. Kata isteri tua, carikan satu yang kuat, tidak perlu cantik, kalau perlu yang paling jelek! Mami Numani agak pusing memilih, sebelum akhirnya menentukan nama Rasimah. Kembang kompleks yang padat berisi, tidak cantik tapi luar biasa seksi, yang langganannya sampai belasan orang sehari. . . .!-

-Itu alasannya? Edan! Ganti ruginya besar dong untuk Mami, Mang?- desak Wantini.

-Entah!. . .?!- sahut Mang Jejen sambil mengedipkan mata menagih janji.

HARI ketika akad nikah akan berlangsung semua penghuni kompleks menunda janji dengan pelanggan. Lepas maghrib acaranya. Rasimah berdandan habis-habisan agar terlihat cantik, ya cantik untuk ukuran hari yang makin redup. Puluhan perempuan di situ rela mengiringi, juga para juragan, para penjual makanan- minuman, calo, bencong, tukang parkir, para preman dan petugas keamanan, juga para tamu.

-Selamat jalan Rasimah! Jangan jadi sombong, ya? Doakan kami juga mendapatkan jodoh seperti kamu. . . . .!- ucap satu-dua perempuan, nyinyir, yang berdesakan di sepanjang jalan sempit ujung kompleks lokalisasi itu.

Rasimah tersenyum hambar. Entah apa maknanya. Ia sudah berdandan rapi dengan sanggul, kebaya, dan aneka tata-rias pengantin. Lengkap dengan rangkaian bunga melati di sana-sini di sekujur tubuh dan rambutnya. Make up wajahnya luar biasa tebal. Wangi. Cantik. Seksi. Lengkap sudah! Para pelanggan hanya bisa meneteskan air liur bacin!

-Selamat jalan sang primadona! Semoga kami cepat menemukan penggantimu di sini.- ucap para Mami bersahut-sahutan.

Rasimah diam, dan hanya tersenyum. –Doakan agar setelah akad-nikah nanti Pak Bos tidak langsung menceraikanku!- bisiknya entah pada siapa dengan air mata berlinangan.

-Kau berkata apa?- tanya Bu Suska, isteri pertama Pak Bos, yang ikut menjemput Rasimah. –Kau bilang cerai?-

-Aku takut, Bu? Kalau Pak Bos tahu siapa aku pasti murka, pasti mata gelap. Kata cerai saja mungkin tidak cukup. Aku takut Pak Bos akan membunuhku. . . .!- ujar lirih Rasimah di telinga Bu Suska.

-Jangan berpikir sadis seperti itu. Pak Bos adalah orang yang sangat baik akhlaknya. Aku dan dua maduku merasakannya. Ia sangat pemurah, setia, jujur dan adil. Pokoknya Pak Bos suami yang ideal.....eh, kecuali di atas ranjang! Kukira kau tidak akan kaget, dan justru profesimu selama ini yang menyelamatkanmu. Pak Bos pasti menyukaimu. Kami bertiga sebenarnya was-was, jangan-jangan Pak Bos justru menceraikan kami, karena sudah menemukanmu. . . . . .!-

MOBIL mewah, rumah mewah, kamar pengantin mewah. Dan hanya tumpukan uang di mana-mana. Rasimah merasa seperti  meledak. Ia tak bisa berpikir apapun. Tidak seperti biasanya, akad nikah hanya disaksikan beberapa orang. Penghulu, saksi-saksi, beberapa orang keluarga, dan seperangkat mas kawin. Rasimah memakai cadar. Anehnya Pak Bos juga pakai semacam topeng.

Cadar tetap ditutup meski akad nikah sudah dilaksanakan. Juga topeng Pak Bos. Itu permintaan ketiga isteri tua. Untuk kejutan, katanya. Bos tak membantah. Bahkan ketika syarat lain pada malam pertama, yaitu lampu kamar pengantin itu harus dimatikan, Pak Bos setuju saja. Permintaan tambahan, ketiga isteri tua rela berjaga di depan pintu kamar penantin. Pak Bos tidak menolak! Ia percaya penuh pada ketiga isterinya yang akan mencarikan isteri keempat seorang penyanyi dangdut bahenol.

Di dalam kamar pengantin gelap gulita. Pak Bos memegang mesra tangan Rasimah.

-Ima namamu. Sangat bagus. Kamu tidak perlu menjadi penyanyi lagi mulai sekarang. Dari mana asalmu, bagaimana kamu bisa seberuntung ini.  . .!- ucap Pak Bos sambil membuka topeng. Rasimah membuka cadar. Keduanya segera membuka apa saja yang melekat di badan. Gelap, dan hanya gelap. Ketiga isteri tua pun duduk berderet di sofa panjang depan pintu kamar tidur isteri keempat sambil memasang telinga tajam-tajam.

-Lain kali saja ngobrolnya. Sekarang malam pertama. Jadi lebih baik dilanjutkan dengan apa saja yang menyenangkan sebagai suami-isteri. . . . .!- teriak Bu Suska di luar pintu.

Bagaimana pun kegilaan itu sulit untuk dimengerti. Sebuah rencana brilyan, atau justru busuk? Ketiga isteri tua berharap tidak perlu menggunakan shift ketat untuk kerja keras semalam suntuk. Sudah ada ahlinya. Ketiga isteri tua itu tersenyum-senyum, dan saling melempar isyarat jahil.

TIDAK perlu upacara dan aba-aba lagi. Ranjang kayu mahal dan luas itu mulai bergoyang. Ini malam pertama, malam sangat khusus untuk setiap pengantin. Goyangan itu mula-mula pelan, teratur, ditingkah nafas yang juga pelan-teratur. Kemudian seperti putaran gigi mesin diesel yang makin lama makin panas, makin kuat, makin kencang. Menanjak, dan menanjak ke puncak.....!

Belum lewat tengah malam, ketiga isteri tua itu sudah disergap ngantuk. Ketiganya terlelap kelelahan di sofa empuk di situ.

Di kamar tidur goyangan ranjang masih berlanjut. Entah puncak ke berapa sudah terdaki. Sementara tanjakan dan turunan jalan terlalu liar dan ekstrim. Mobil diesel itu terus melaju makin tak terkendali.

Menjelang subuh Pak Bos rebah. Terkulai. Lemas. Mengkerut! Rasimah meraba-raba tubuh berkeringat dingin disampingnya, dan seketika menjerit histeris. . . . .! Ketiga isteri tua terlonjak kaget dan terbangun. Serampangan ketiganya menggebrak pintu, lalu masuk kamar tidur isteri keempat, menyalakan lampu. Byar!

Rasimah masih menjerit-jerit, lalu bangkit hendak berlari. Dilihatnya nyata tubuh telanjang gempal itu. Jati diri Pak Bos segera dikenalinya. Ya. . . . ia si tukang batu itu, siapa lagi. Masih seperti dulu, badannya berbulu, tinggi-besar-perkasa, dan dengan perabotan menonjol mengerikan   Trauma masa kecil seketika kembali terungkit di kepala Rasimah. Ia mendadak merasa perih, nyeri, sakit. . . .ah!

Ketiga isteri tua ribut, bingung, bising saling menyalahkan. Masing-masing terus berdebat, saling menuduh, meludah, memaki, dan akhirnya cakar-cakaran dengan ganas dan sadis. Tapi Pak Bos tak juga bangun. Ia lunglai terpuruk megap-megap!

Adzan subuh! Rasimah seperti mengulang cerita lama, menyelinap diam-diam. Berjingkat-jingkat gesit untuk pergi. Tidak ada hal lain dalam pikirnya kecuali pergi, menjauh, menjauh! Dulu minggat, sekarang pulang. Rasimah ingin kembali ke desanya yang terpencil, ke tempat mana si tukang batu jodohnya itu tidak lagi ada di sana!

Bandung, Juli 2008 – Desember 2014

Cerita sebelumnya :

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/25/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-1-712736.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/26/jodoh-untuk-rasimah-cerpen-2-712817.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun