[caption caption="buruh gendong pasar beringharjo"][/caption]Minggu ketiga. Terinspirasi lagu
Pasar Beringharjo siang hari. Seorang perempuan tua buruh gendong menyesali perkawinannya yang gagal di kampung. Namun ia lebih menyesali kenapa satu-satunya anaknya harus ia serahkan kepada orang lain. “Kini aku masih menggendong beban berat untuk upah yang tidak seberapa. Namun aku ikhlas. Ini ganti beban yang mestinya kugendong dulu. . . .!” keluhnya. Titik air mata membayang di matanya.
“Ayo cepet, mbok. Hari sudah siang. . . . .!” ucap Bu Hajjah Mardiyah –juragan batik yang muda dan cantik itu- di belakang sebuah minibus warna metalik. “Mbok, aku minta maaf sejak hari ini jasamu menggendong tidak kuperlukan lagi. . . .!” ujar perempuan muda itu sambil memberikan kertas terlipat rapi, bukan uang. Mbok Pawiro tertegun dan bingung.
Kertas kumal itu dibukanya dengan hati berdebar. “Anakku.. . . Kalau saja simbokmu ini cukup uang untuk merawatmu, Nduk, aku tidak mungkin setega ini. Maafkan aku. Kuserahkan kamu kepada Bu Sumi untuk dirawat dengan baik. Simbokmu, Rukini!”
Pecah tangis Mbok Pawiro, yang kala mudanya bernama Rukini. Bu Hajjah Mardiyah segera membantu mbok Pawiro masuk ke dalam mobil. “Bu Sumi adalah ibuku. Kalau betul surat itu tulisanmu, mbok, berarti aku anakmu! Seminggu ini Bu Sumi menyerahkan surat itu agar aku mencarimu. . . . . .!”
Bandung, 18 Maret 2016
Karya ini diikutsertakan untuk merayakan HUT Perdana RTC.
Keterangan:
Nduk (Jw): panggilan sayang untuk anak perempuan
Simbok/Mbok : Si ibu, Ibu (Kata lain Mak atau Emak, merupakan panggilan anak untuk ibunya di pedesaan/pinggiran, bukan kerabat kraton dan kaum terpelajar)
'Tak' Gendong :' Akan ku'-gendong