Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Pagi, dan Cerita tentang Bidadari

29 Mei 2017   17:19 Diperbarui: 30 Mei 2017   06:10 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan pagi menabur rezeki, kalau bukan untuk kami tentu buat mereka yang sedari subuh sudah berkeringat menekuni pekerjaan dan harapan. Padahal banyak orang suka pagi dengan limpahan sinar matahari, namun pagi ini tanpa berkabar matahari absen. Seperti anak-anak sekolah yang kadang bolos, ia bisa saja lupa tugasnya karena keasyikan bermain entah dengan siapa di tempat lain.

“Apa matahari mau bermain ke rumah kita, Bu?” Upik bertanya usil. Anak perempuan yang masih bicara cadel itu rupanya tahu saja apa yang dipikirkan Ibunya. “Kalau mau bermain ke sini pasti malam nanti pun tidak ada gelap!” Ibu agak jengkel dengan ucapan itu, tapi tidak pernah memperlihatkannya dengan amarah. “Kalau matahari singgah ke rumah kita, pasti para tetangga iri dan marah. Mereka juga tidak suka gelap. Jadi biar saja ia bermain di tempat lain!” Jawab Ibu dengan membujuk. Upik menangis karena jawaban ibu.

Hujan pagi membawa dingin, meneruskan dingin malam yang belum sempat pergi. Menggigilkan hati para bayi yang menangis tak henti, sedangkan ibu mereka bekerja menanak nasi, sambil mengeringkan pakaian di mesin cuci, Sementara lantai belum sempat dipel, halaman rumah masih kotor dengan daunan rontok, plastic dan bungkus makanan, rumput meninggi. Ibu memotong-motong sayur yang hendak dimasak, menghaluskan bumbu dengan cobek. Hampir bersamaan wajan berminyak panas teronggok di tungku untuk menggoreng ikan. Ibu sibuk memasak, dan Upik memilih diam sambil membayangkan betapa lelahnya tugas setiap ibu pagi ini.

“Kalau angin membawakan kita salju, aku bisa bermain-main seperti anak-anak di benua sana. Alangkah gembira saling lempar bola salju dengan teman-terman!” Ucap Upik spontan, sekali lagi meraba pikiran ibu. Ibu mengerutkan dahi dan mengatupkan erat kedua belah bibirnya. “Di belahan duni yang bersalju tentu udaranya dingin sekali. Banyak orang di sana membeku jadi batu. Lalu nyawa mereka pergi ke tempat yang lebih hangat!” Ibu berkata dengan tertawa. “Apa nyawa itu pergi dan masuk ke tubuh orang-orang di benua yang panas. Aneh sekali. Jangan-jangan di sana banyak orang punya nyawa rangkap!” Upik hanya melotot memandangi ibu dengan rasa jengkel jadai bahan tertawaan.

Hujan pagi menawarkan nyanyian lirih seperti dongengan para bidadari yang melayang turun berbondong dari langit, mencandai rezeki yang datang dan pergi, kemudian mempermainkan dingin yang membawa salju seputih kilau sayap-sayap mereka. Dengan kepaknya yang menimbulkan angina, bertiup harum sepoi-sepoi. Tiap mahluk bahkan hujan di pagi hari tertunduk bertasbih mengagungkan nama Allah.

“Ibu, bolehkah aku bermain bersama para bidadari?” Tanya Upik spontan, tanya yang terlontar ketika terlintas dalam pikiran Ibu tentang betapa bahagia dan senangnya menjadi bidadari dengan sayap-sayap berkilau putih dan bebas kemana pergi. Ibu terperanjat pada pertanyaan itu. “Kenapa kamu bertanya begitu, Nak? Apakah kamu mampu membaca pikiran ibu?” Upik tak menjawab sesuatu melainkan hanya tersenyum saja.

Lalu Upik bergerak-garak manja dalam pelukan perut buncit ibunya. “Bukankah aku masih menjadi bagian dari tubuh ibu?” Ibu balas tersenyum. Lalu mengelus permukaan kulit perut dengan senang, bangga, dan penuh harapan. “Pada waktunya nanti lahirlah kamu ke dunia dengan lancar, sehat dan selamat, Nak. Bila sudah cukup usia kelak kamu boleh bermain hujan, measakan dingin, bermandi sinar matahari, dan bahkan bermain dengan bidadari yang bersayap kemilau karena putihnya meski sekadar dalam cerita fiktifmu. . . .!”

Ayah muncul di dapur, rapi dan wangi. “Ibu, jangan lupa minum susunya. Meski terasa mual dan ingin muntah, lakukan terus dengan tekun. Demi Upik, anak kita,” Ucap Ayah ketika pamit hendak berangkat bekerja. “Saya lihat dari tadi ibu termenung-menung sendiri, lalu bicara, tersenyum dan tertawa. Ngobrol dengan siapa, Bu?” Ibu terjingkat dari kesibukannya. Ia terkejut dan segera menyadari suaminya sudah bersiap hendak berangkat. “Kalau Ibu ceritakan mungkin Ayah tidak percaya. Upik mampu menebak kemana pun pikiran Ibu!”

Ayah tersenyum dan mengelus perut ibu yang makin besar itu. Hampir sembilan bulan. “Tentu saja Upik bakal menjadi gadis yang cerdas kelak. Jagalah ia sepenuh hatimu, Bu!” ucap Ayah seraya mengecup kening isterinya. Hujan pagi belum juga reda, hingga petang tersua.  

Sekemirung, 29 Mei 2017

Gambar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun