Tiga hari saja, tidak lebih, dan itu tidak mudah. Seperti orang bermain-main, tapi entah kenapa begitu menantang. Aku ingin membuktikan tidak seperti prasangka buruk mereka.
***
Kami baru dua minggu pacaran. Lelaki itu, jelang dua lima. Tiga tahun lebih tua dariku. Ia seorang pengusaha muda yang tidak menarik, tampak bodoh dan kekanak-kanakan. Aku tak pernah membayangkan ada cowok model begitu.
“Kalau kencanmu belum datang biarlah aku sebagai ganti sementara. Mungkin aku jauh lebih ganteng darinya. . . . .!” ucap lelaki itu ketika ia tiba-tiba pindah ke mejaku.
Sangat mengagetkan dan tidak sopan sebenarnya. Tapi kubiarkan saja. Lumayan ada teman ngobrol sambil menunggu Pak Jatmiko, dosen pembimbing skripsiku. Hari beranjak petang. Kafe ‘Tertusuk Duri’ makin ramai.
Dua jam berlalu. Pak Jatmiko tidak muncul. Mungkin ia kepergok isterinya karena membuat jadwal siluman. Aku tidak membayangkan bakal terjebak pada perilaku binal kalau saja tidak muncul lelaki culun bernama Prahasto.
***
Prahasto mengaku anak tunggal. Orangtuanya terlalu protektif sejak kecil. Sikap protektif dan galak itu tanpa basa-basi diperlihatkan ibunya kepadaku. “Kalau cuma cantik saja banyak. Pinter menghambur-hamburkan uang saja banyak. Kamu lebih baik tetap jomblo daripada pacaran dengan Damastuti. . . .!” semprot Bu Branti getas di depan hidungku ketika kami dipergokinya.
***
Siang terik, dan ini hari ketiga. Rasanya sudah hampir putus asa. Berjalan keliling dengan karung berat di punggung sambil mengorek-ngorek sampah. Tiba-tiba seorang pemulung lelaki yang tampak begitu dekil dan rombeng menyeberang jalan dan mendekatiku.
“Damastuti. . . . , kita bicara sebentar. . . . .!” ujar pemulung itu.