Perempuan Pemindah Batu
SETAHUN lalu Wajiran pergi dari rumah. Emaknya, Mak Nuriyatini, coba mencegah, tapi tidak digubris. Wajiran nekat sebab malu, sudah lulus SMA hampir tiga tahun tapi tidak segera mendapatkan pekerjaan. Sekedar menjadi tukang kebun sekolah pun tidak diterima. Ia tidak mau menjadi penunggu toko, atau menjadi buruh pabrik genteng. Terlebih ia tidak mau jadi buruh tani seperti rata-rata pemuda di desa terpencil itu. Ia ingin menjadi pegawai kantoran!
Bulan demi bulan berlalu, Wajiran pergi tanpa kabar angin apapun. Apakah ia sudah memeluk cita-citanya, atau belum. Selama satu tahun itu ia tidak pernah pulang. Mak Nuriyatini bukan tidak ada usaha untuk mencari jejak kemana perginya Wajiran.
Dari upah menjadi buruh tani ia pernah pergi ke kantor Polsek kecamatan untuk menelisik jejak kenekatan anak tunggalnya itu, lalu ke ibukota kabupaten. Pernah pula ke ibukota provinsi, bahkan ke ibukota Negara. Tidak ada secuil keterangan pun yang diperoleh yang mengarahkannya pada keberadaan Wajiran.
Kalau tidak ada keperluan mendesak sebenarnya Mak Nuriyatini lebih suka menunggu saja. Upah yang dikumpulkannya tidak seberapa terpaksa dihabiskan untuk ongkos bus. Keperluan yang sangat mendesak itu perihal rumahnya yang sudah rapuh, gapuk, hampir roboh! Tidak ada cara lain bagi Mak Nuriyatini selain menempuh jalan terakhir. Itu juga saran mas Jaludri. Pasang iklan di Koran, Mak! Bujuk Mas Jaludri. Isinya singkat saja: Wajiran cepat pulang. Mak menunggu. Rumah hamper roboh!
SEMINGGU kemudian datang ke desa itu, seorang lelaki yang terlihat kemayu. Ia memperkenalkan diri sebagai kenalan Wajiran dan membawa uang untuk biaya membangun rumah. Belum semua, katanya. Masih untuk fondasinya dulu. Batu empat truk! Sore itu memang datang truk membawa batu. Tanah sudah ada, tinggal bahan bangunan saja yang diperlukan!
Warga desa tentu saja sangat senang, rumah Mak Nuriyatini bakal jadi permanen. Gubuk reyotnya akan segera diganti dengan rumah tembok yang kokoh.
“Syukurlah, Wajiran masih ingat emaknya! Mungkin ia sibuk, ya? Atau mungkin ia malu pulang karena belum benar-benar berhasil dalam pekerjaanya, siapa tahu?” gumam Mak Nuriyatini dengan wajah merona karena bangga dan penuh harap. “Mudah-mudah dalam waktu dekat bahan bangunan lain, pasir, semenm genteng, cat dan paku datang. Lalu datang pula kusen, kerangka atap, dan perabotan rumah. Ah, betapa senangnya memiliki rumah tembok yang kokoh. Tidak takut ambruk tertiup angin lesus!”
SAMBIL menunggu, di sela-sela menjadi buruh tani, Mak Nuriyatini memindahkan sendiri batu-batu sebesar kepala kerbau itu dari halaman depan ke belakang rumah. Dengan tubuhnya yang ringkih pada usia lewat lima puluh tahun, niatnya kuat karena semangat akan memiliki rumah tembok.
Suara batu beradu itu terdengar sampai beberapa rumah di samping kiri-kanan, dan muka-belakang, di pedesaan itu. Kadang-kadang pagi-pagi, kadang sore. Berbulan lewat, bahan bangunan tambahan yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Lelaki kemayu itu tidak muncul-muncul. Mak Nuriyatini harus terus menyabarkan diri, memindahkan tumpukan batu kali itu, mungkin sepuluh kubik atau lebih, dari satu tempat ke tempat lain, ke tempat lain lagi, tanpa merasa penat.
HAMPIR satu tahun, tidak ada lagi bahan bangunan yang datang. Tapi suara batu dilemparkan, dan membentur keras batu lain itu masih terdengar sampai kini. Waktunya bukan hanya pagi, siang, atau sore, tapi tengah malam. Konon itulah suara yang menandakan Mak Nuriyatini masih setia menunggu Wajiran!
Rumah reyot itu sebulan lalu ambruk di hajar angin puting-beliung, ditengah hujan lebat. Mak Nuriyatini terkapar di bawah tiang rumah, dengan badan masih utuh, tapi sudah tidak bernafas!
Karangayu-Kendal, 21 Februari 2014