[caption id="attachment_417729" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Judul-judul berita terkait dengan bunuh diri mudah kita dapati dengan aneka varian -seperti bermain catur-, beberapa alasan dan kemudian cara pelaku menghabisi nyawanya sendiri. Saya baca suratkabar Kedaulatan Rakyat kemarin tekait dengan kasus bunuh diri. Ada sejumlah berita lain tentang bunuh diri di situ, terkumpul dari beberapa hari/minggu sebelumnya.
Berikut beberapa judul dimaksud: Cekcok, ibu RT gantung diri; Patah hati, ABG ini bunuh diri; Depresi, mantan Kepala SD ‘nyemplung' ke sumur; Anggota Polsek tembak kepala sendiri, dan Dilindas KA, Rukiyen bunuh diri.
Informasi Minus Edukasi
Galibnya media adalah menyampaikan informasi, namun tuntutan lain yang tak kalah penting seiring dengan gencarnya pemberitaan suatu peristiwa, yaitu aspek edukasi. Ketika media menyampaikan suatu peristiwa apa adanya, tanpa mencoba sisi apa yang melatar-belakangi peristiwa itu dan pembelajaran apa yang dapat dipetik; maka nilai beritanya kecil, kalau tidak mau disebut tidak ada sama sekali.
Mari kita cermati berita tentang seoang ibu rumah-tangga yang gara-gara cekcok dengan suami kamudian memutuskan pergi sejauh 30 kilometer lalu bunuh diri, selesai. (1)
Puluhan tahun silam wartawan menulis berita yang seperti itu. Sekedar memenuhi jawab atas pertanyaan lima unsur berita: who, what, when, where, Â why, dan how.
Lalu, kalau ada lima berita tentang kasus bunuh diri apakah dituliskan dengan format dan isi yang sama? Jawabnya, ya. Media sekedar memberitahukan tentang sesuatu apa adanya, dan setelah itu selesai. Persoalan muncul, jika tanpa tambahan apa pun –dalam hal ini sisi edukasi dari aspek moral/agama- maka semua tindakan si pelaku seolah memperoleh pembenaran.
Dengan kata lain, kalau ada orang mengalami peristiwa serupa, dalam kondisi serupa, jalan keluarnya ya….! Cekcok rumah tangga, patah-hati, depresi, dan penyakit menahun serta alasan apa lainnya menjadi pembenar tindakan menghabisi nyawa sendiri. Mungkin secara tidak disadari itulah pesan yang disampaikan media massa. Padahal pasti ada kompleksitas permasalahan tersendiri di sebalik itu. Wartawan terasa hanya cari gampang, melihat hanya permukaan, dan malas menelusuri lebih jauh.
Kesan yang hampir sama disampaikan media terkait dengan penangkapan mucikari yang mempekerjakan 200 orang selebritas dengan bayaran puluhan juta rupiah. Yang diperlihatkan adalah betapa mudahnya menangguk rupiah dengan jalan menjajakan diri. Berbagai berita yang menyertainya tak lebih dari pendalaman untuk pembenaran bahwa kondisi sosial-ekonomi-budaya sekarang, bahkan sejak lama, memungkinkan hal itu.
Perubahan orientasi pemberitaan
Dengan pendekatan yang salah sebuah berita akan berdampak salah dan merugikan. Oleh karena itu setiap media mestinya terus mengevaluasi diri atas berita yang ditayangkan. Tidak sekedar memenuhi kaidah berita: penting, menarik, aktual, dan seterusnya. Tapi mesti menyertakan pula nilai-nilai apa yang mengharuskan khalayak pembaca/penonton/pendengar berpikir dan mendapatkan kesimpulan aspek apa yang dapat dijadikan pembelajaran untuk diikuti (berita positif), atau sebaliknya dihindari (berita negatif).
Banyaknya media, terlebih dengan adanya media sosial, maka pekerjaan para jurnalis menjadi semakin mudah (pada satu sisi), namun sebaliknya juga semakin sulit (pada sisi lainnya). Mudahnya akses dan mendapatkan bahan berita (bahkan lewat telepon, adanya video amatir, menjamur/canggihnya perangkat perekam audio-visual), memberikan tekanan tanggung jawab yang lebih besar para jurnalis.
Itu berarti hal-hal yang bermanfaat dan sisi edukatif harus lebih ditonjokkan, agar berita tidak semata laporan peristiwa. Berita mesti sudah dimuati dengan niat baik dengan berbagai tekniknya. Tidak membiarkannya telanjang, dan bahkan kemudian dapat dimaknai secara negatif.
Dengan kata lain, orientasi dan mutu berita mestinya terus bergeser dan berubah ke arah yang lebih baik. Kebebasan pers yang kita miliki, hasil perjuangan panjang insan dan pejuang pers, selayaknya membuka mata kita tentang hal-hal baik yang dapat dimanfaatkan. Banyak negara lain, yang bahkan yang tidak sebebas kita, mampu mengambil manfaat besar dari kebebasan pers mereka. Dan semua itu sangat tergantung pada kecerdasan dan strategi pers dalam ikut mengubah dan meningkatkan khalayaknya juga.
Sekedar perbandingan perbedaan cara penulian berita pada media kita dengan media di Jepang dapat dibaca pada berita berjudul ‘Siswa bunuh diri setelah dipukul pelatih’. (2) Di situ dilengkapi keterangan Si Pelatih yang meminta maaf, ada tambahan keterangan masalah bunuh diri di Jepang dengan beberapa latar belakangnya.
Demikian saja renungan kecil mengenai penulisan berita bunuh diri. Intinya, tidak setiap peristiwa adalah berita, tidak setiap peristiwa besar dapat diberitakan apa adanya, tidak setiap peristiwa kriminal-seks-bunuh diri memiliki sisi edukatif sehingga  seolah-olah wajib diberitakan. Terima kasih bila sudi menyimak, kiranya ada manfaatnya. Wassalam.
Bandung, 15 Mei 2015
--
Sumber:
(1) http://krjogja.com/read/259777/cekcok-ibu-rt-gantung-diri.kr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H