Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosa Para Koruptor, dan (Mestinya) Hukum Tambahan bagi Mereka

29 April 2017   20:25 Diperbarui: 3 Mei 2017   00:51 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbeda dibandingkan dengan teroris, pengedar narkoba, perampok, bahkan pembunuh dan penjahat kelamin; seorang koruptor memiliki reputasi yang relatif lebih baik. Mereka tidak dipandang dengan sebelah mata, dengan mata berkernyit. Tidak ada sejarahnya koruptor dipandang dengan tutup mata karena takut, jijik, muak, was-was, geram, dan marah. Koruptor di negeri ini dianggap sebagai  penjahat kecil dan tak seberapa jahat. Bahkan belum ada sejarahnya seorang koruptor, apalagi tersangka koruptor, yang dihadiahi timah panas

Namun mereka tentu tidak mau disamakan dengan maling ayam atau pencopet pasar atau begal motor. Mereka akan merasa sangat  dilecehkan dibanding-baningkan begitu. Namun alasan sebenarnya ini.  Sebab ketiga penjahat terakhir ketika tertangkap tangan akan dihajar habis-habisan, dilumatkan, dan bahkan seringkali dibakar hidup-hidup (sebutan baru: ‘di-massa’). Karena selama ini para koruptor ketika tertangkap dan kembali dari penjara seperti tidak kehilangan  apa-apa. Tetap ssegar-bugas, murah senyum, sehat, dan penuh gaya. Ajaib sekali, ya?

Hal lain. Lingkungan anak saudara-kolega dan tetangga pun baik-baik saja, bahkan juga tidak kehilangan kekayaannya.  Seorang koruptor yang sudah lama bergelimang dengan lemewahan dan kekayaan biasanya meraih predikat keagamaan tertinggi pula, berpenampilan sangat agamis, tampak begitu dermawan dengan siapa saja dan bahkan dalam hal berinfak/sadakah, dicintai siapa saja yang mengenalnya; padahal. . . .

Sembilan Dosa, Tambahkan
 Padahal para koruptor itu mestinya dijatuhi hukuman berat, dijauhi dalam pergaulan, dianggap lebih kejam dari teroris, lebih menjijikan daripada penjahat kelamin, serta disikapi dengan geram dan marah besar karena telah menipu siapa saja dan apa saja (negara, institusi tempatnya bekerja, anak-isteri, relasi/kolega, tetangga, dan bahkan media). Oleh karena itu, koruptor tidak hanya melanggar hokum dunia namun terlebih hokum Tuhan/agama. Menurut saya setidaknya ada sembilan dosa besar yang disandang setiap koruptor.

Satu, merugikan negara. Siapa yang pernah melihat tumpuikan uang jutaan rupiah? Tumpukan miliaran rupiah?  Lalu bagaimana membayangkan banyaknya tumpukan uang yang bernilai triliunan rupiah? Korupsi berjamaah dalam berbagai mega korupsi yang hingga kini belum tuntas selesai proses hukumnya menggunakan angka rupiah itu. Angka triliun rupiah pada kasus BLBI, Bank Century, hingga yang terakhir kasus E-KTP.

Seberapapun kaya dan subur-makmur negeri ini manakala terus-menerus digerogoti oleh warganya sendiri (sudah puluhan tahun pula) maka suatu ketika timpang, limbung dan kemudian ambruk.  Mungkin para pembobol itu tidak ambil pusing  bahwa ulah mereka membangkrutkan keuangan Negara. Leb ih jauh tindak curang itu berakibat multi-efek pada kerusakan moral-mental dan tatanan hidup masyarakat serta kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dua, bersekongkol untuk melakukan kejahatan pencuria-penggelapa-grativikasi. Dimana pun kejahatan yang bernama korupsi selalu dilakukan oleh sekawanan orang, serombongan, dan bahkan sering disebut sebagai berjamaah. Dalam mega korupsi E-KTP misalnya para anggota DPR RI yang terkait  kasus itu main bagi-bagi uang. Mereka melakukan ‘bancakan-kenduren-pesta massal‘ sehingga seorang anggota yang tidak melakukan justru dinilai aneh-beda-sok suci dan dijauhi-dibenci-dikucilkan.

Demikian pun pasti ada seorang perencana utama dan disebut ‘otaknya’. Mungkin dalam kontaks sholat berjamaah, ia menjadi imam bukan pada jalan yang lurus tapi jalan bengkok- kesesatan dan perkeliruan yang akut-ancur-dzolim. Dalam bahasa agama, mereka salah satu yang masuk dalam kategori: mendzolimi diri sendiri  dan neraka jahanam balasannya.

Tiga, memberi makan anak-isteri/suami dan orangtua maupun saudara dengan barang haram hasil korupsi. Koruptor biasanya juga kepala keluarga (suami atau isteri) dan tulang-punggung ekonomi keluarga. Mereka bertindak senista itu tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri. Seringkali itu semua karena dorongan sanak-keluarga,anak-isteri/suami, orang tua/mertua. Makaderetan  rumah megah, kendaraan mewah, tabungan berlimpah, serta gaya hidup yang wah menjadi keniscayaan yang tak hendak ditutup-tutupi. Kalau ada ungkapan: miskin tapi gaya, biar kalah nasi jangan kalah aksi; maka para koruptor tanpa sadar telah memasyarakatkan ungkapan: muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk neraka. 

Empat, semua amal-ibadahnya tidak bernilai pahala. Sholat wajib dan sunah sepanjang hari ibaratnya, hingga tapak sujud menghitamkan kening, tidak bernilai apa-apa. Berpuasa wajib dan sunah, hingga puasa Daud pun, cuma mendapatkan lapar dan dahaga tanpa pahala. Mungkin saja mereka ikhlas memberi, berderma dan beramal ibadah, namun itu sama sekali tidak ikhlas dan tidak melalui jalan yang benar. Mungkin saja mereka  berpikiran  picik bahwa dengan naik haji atau berumroh berkali-kali maka  semua dosa-dosanya akan terhapus. Bahwa dengan membangun masjid dari hasil korupsi akan diganti dengan dibuatkan istana di surga.  Tidak, semua itu tidak berguna.

Lima, berpenampilan menipu-mengecoh masyarakat-kolega-tetangga dengan sikap yang sebaliknya : sopan-santun, dermawan, alim-sholeh, dan baik-baik saja. Seorang koruptor seringkali berpenampilan sangat baik sebagai atasan, sebagai kepala rumah-tangga, sebagai tokoh masyarakat, akademisi, birokrat, wakil rakyat, dan peran apapun yang dipilihnya. Padahal semua itu hanya kamuflase-sandiwara-topeng, hanya alat untuk melancarkan niat jahatnya. Sifat-sikap suka bohong, berpura-pura, jaga gengsi/image, berpenampilan sempurna dan hal-hal lain yang tidak sebenarnya, menjadi modal utama setiap koruptor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun