Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta yang Menua

17 Juni 2016   00:33 Diperbarui: 17 Juni 2017   12:25 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: abimurti.wordpress.com

Bab IX – Satu (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Arjo bergegas menyelesaikan mandinya. Mandi baginya menjadi salah satu rekreasi memanjakan diri sambil melupakan apapun. Ia bisa berlama-lama di kamar mandi. Segarnya air mengguyur seluruh tubuh yang lengket oleh keringat. Namun kali ini ia harus buru-buru. Menggunakan sabun cair dari tabungnya. Bilas beberapa kali dengan guyuran penuh. Sementara itu kedua telapak tangannya menekan dan mengusap segenap permukaan kulit, untuk menghilangkan sabun sekaligus membersihkan segenap pori-pori yang tertutup debu. Lalu handukan dengan serampangan. Bahkan kumis dan jenggot pun belum sempat dicukur bersih.

Ia berwudhu ketika didengarnya adzan maghrib berkumandang. Keluar kamar mandi. Menyambar botol air mineral dan kue kering di tas meja kecil yang tadi dibelinya sambil berjalan kehujanan ke rumah kontrakan. Minum beberapa teguk, dan mengunyah kue dalam sekali suap. Tapi ya, ia iangat, hari ini ia sama sekali tidak berpuasa. Siang tadi Wasi mengajaknya ke kafe, dan ia seperti kerbau dicocok hidung mau saja mengabaikan kewajiban shaum sebagai seorang muslim.

Perasaan bersalah apapun biasanya dibawa ke mushola di balik halaman rumah depan. Namun gerimis memaksanya mencari jalan mudah. Sholat maghrib sendiri saja di kamar kontrakan. Di atas hamparan sajadah itu ia menumpahkan segenap kelemahan dan kegundahan hatinya. Meski dengan cepat dan agak buru-buru. Tiga rekaat, dan dilanjutkan dengan doa panjang.

“Ya Allah, sudah banyak yang kulalui dan sekarang aku di sini dalam keadaan begini. Begitu banyak jalan yang salah kulangkahi, betapa banyak pikiran sesat, terlebih juga sungguh tak terhitung keputusan salah. Hari ini pun aku mengingkari kemuslimanku. Maka sekiranya tak banyak waktu lagi untukku memperbaiki kesalahan, ampunilah aku ya Allah!” desis Arjo sambil menangkupkan telapak tangan ke wajahnya.

Arjo berdiri dan melipat sajadah. Kemudian ia menyempatkan diri menyulut sebatang rokok. Jarak antara satu dengan lain tempat di kamar kontrakan itu terlalu pendek untuk langkahnya yang panjang. Tak lama ia sudah terduduk di depan jendela untuk melihat ke arah kebun, saat beberapa pohon rindang basah terguyur gerimis yang belum juga reda. Tetes-tetes air menitik ritmis satu-satu dari ujung genteng. Memunculkan bunyi lirih kecipak yang khas di tanah teritisan. Sementara itu angin lumayan basah untuk menjadikan udara sejuk melenakan. Rasa kantuk menyergapnya.

Baru beberapa sedotan untuk mengepulkan asap putih, tiba-tiba seseorang datang. Rupanya Bang Robby yang muncul di depan pintu. Arjo mematikan sisa rokok, takut membuat tamunya itu terbatuk.

“Sudah sehat, Bang?” tanya Arjo mendahului, berbasa-basi.

“Ya. Lumayanlah. Harus disehat-sehatkan, sebab kalau tidak makin terpuruk saja rasanya. . . .!” ucap Bang Robby yang tampak lemah dan agak goyah jalannya itu.

“Haji Lolong sudah meninggal. Ia sudah menjadi orang baik, sangat jauh dari bayangan orang selama ini. Sayangnya titipan salam Bang Robby untuknya belum sempat saya sampaikan.. . . . .!” ucap Arjo seraya mempersilahkan tamunya masuk dan duduk di bangku kayu sederhana di kamar kontrakannya.

“Akhirnya meninggal juga dia ya. . . .! Orang sesehat itu.  Waktu muda ia jawara, tidak ada sesuatu yang ditakutinya. Bahkan beberapa kali tubuhnya ditembusi peluru petugas. Tapi ia bertahan hidup. Aku berkawan dekat dengannya karena sama-sama bermain di batu mulia. Namun soal dunia hitamnya aku tak ikut campur . . . . .!” komentar Bang Robby. Ia duduk dan mengamati Arjo yang sudah bersiap hendak pergi. “Kulihat kamu sibuk sekali hari-hari ini. Masih jadi tukang ojek sepeda onthel?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun