Tiga hari sejak peristiwa kebakaran restoran Daun Bambu, polisi akan mengumumkan hasil pelacakan lanjutan terhadap penyebab kebakaran. Para jurnalis media diundang, lengkap dari media cetak, media elektronik, hingga media online. Para pimpinan redaksi mengendus ada sesuatu yang besar yang akan disampaikan pihak kepolisian yang baru ditemukan kemudian.
Hari masih pagi namun kemacetan sudah merambah seluruh sudut kota, termasuk di Kantor Polres Kota Barat itu. Para jurnalis sudah tidak sabar menunggu. Seharian itu memang banyak berita kota yang dapat dikejar. Meski harus bergerak gesit dan serba-cepat, tak urung para pekerja muda itu terlihat lemas dan kuyu. Puasa ramadhan menjadikan anak-anak yang muslim kekurangan jam tidur, selain tetap saja rasa haus dan lapar.
Ruangan kantor polisi Polres Kota Barat ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai ruang konferensi di hotel. Ruangan kedap suara, dan ber-AC. Tersedia meja kursi empuk, ada beberapa mike, juga lembaran-lembaran press release. Kesempatan tanya jawab dapat dilakukan langsung dengan Pak Kapolres.
“Sibuk amat. Sudah kemana saja sesiang ini, Bang?” tanya Siwi, jurnalis perempuan yang gesit, dari koran Pelipur kepada Bang Arfin dari Radio Gertak alias Gerakan Taktis dengan motto kritis dan ambisius itu.
“Sudah tiga TKP kulahap. Semua beritanya hebat dan menasional kukira!” ujar Bang Arfin sambil sesaat menengok ke arah Siwi. Arfin sedang sibuk dengan notebook-nya. Mengetik berita beberapa alinea, lalu di kirim ke meja redaksi medianya untuk menjadi materi ‘stoppress’.
“Hebat ‘kali, Bang. Kenyang pasti ya. . . . .!” sambut Siwi seraya tertawa. Diserahkannya daftar hadir itu kepada Bang Arfin untuk diisi.
Daftar hadir berpindah kepada Rubiat, Sasli, Delia Ning, Tubagus, dan Suastuti. Mereka para jurnalis khusus kriminal. Dan seperti kelompok wartawan lain, bila sudah berkumpul akan saling mengkonfirmasi kelengkapan dan keakuratan data maupun fakta suatu berita yang diperoleh di lapangan. Pengalaman mengajarkan bila ada perbedaan data antar jurnalis sering membuat malapetaka di depan redaktur.
Selesai meminta menuliskan nama dan tanda angan, pandangan Siwi beralih pada seorang lelaki tua yang duduk di pojok ruangan. Ia merasa belum pernah bertemu. Siwi yang bertubuh mungil dengan rambut lurus sebahu itu mendekat untuk meminta kartu press dan mengisi daftar hadir.
“Maaf, Abang belum tercatat di Kelompok Kerja atau Pokja Wartawan Kota Barat di sini ya? Mungkin penugasan baru atau bagaimana?” tanya Siwi yang merasa bertanggungjawab mengurusi aktivitas Pokja karena jabatannya sebagai Sekretaris.
“Terus terang saya bukan jurnalis. Kalau tidak keberatan saya akan ikut mendengarkan saja konferensi pers ini. . .. .!” ucap lelaki itu yang tak lain adalah Arjo. “Saya teman dekat Haji Lolong yang ikut tewas setelah kebakaran di restoran Daum Bambu. Saya ingin mendengar dari tangan pertama mengenai perkembangan penyelidikan penyebab kebakaran serta kemungkinan bentrok dua organisasi pemuda sepeninggal Haji Lolong. . . . .!”
“Tidak bisa, Bang. Alasan apapun itu diluar urusan Pokja di sini. Abang bisa minta waktu sendiri ke Pak Kapolres jika memang ingin mendengar keterangannya. . . ..!” ucap Siwi seraya mempersilahkan Arjo meninggalkan ruangan itu.