Malam hingga pagi itu suasana mencekam di sekitar pasar Kebon Klengkeng. Kematian Haji Lolong dengan segenap cerita yang melatarbelakanginya membuat pemberitaan simpang-siur, dan menjadikan warga resah.
Namun cerita soal dua orang lelaki dan perempuan yang menyelinap ke dapur agaknya yang lebih dipercaya khalayak. Dalam waktu singkat media online sudah membuat perkiraan dan analisis sedemikian rupa yang bahkan sudah mendahului keterangan resmi dari pihak kepolisian. Cerita itu menjadi viral hingga meluas dan lebih dipercaya mengenai adanya sebuah konspirasi.
Sementara itu media massa arus utama tidak mau ketinggalan untuk membuat banyak prediksi.
“Seperti kebakaran banyak pasar tradisional, kebakaran restoran Daun Bambu meninggalkan misteri. Kabar yang belum dapat dikonfirmasi menyebutkan ada dua orang yang dicurigai menyelinap di dapur restoran, tempat kejadian awal kebakaran besar itu. Misteri lain ketika terkabar seorang tokoh dari pasar Kebon Klengkeng bernama Haji Lolong meninggal dunia karena kebakaran itu. . . . . !” tulis di halaman pertama Suratkabar Ekspansi Ekspres yang pemiliknya merupakan ketua umum serbuah parpol.
Ditambahkan di situ beberapa foto tentang kobaran api yang melalap berlantai tiga, kerja belasan mobil pemadam, warga yang berkumpul dan memacetkan jalan, serta foto Arjo memanggul Haji Lolong untuk penyelamatan.
“Tujuh belas orang tewas, puluhan lain luka berat dan ringan dalam kebakaran restoran chinese food Daun Bambu. Mereka adalah pengunjung dan tamu restoran. Kebakaran akibat ledakan tabung gas itu diduga ada yang sengaja melakukannya. Kebakaran bahkan memakan korban seorang tokoh organisasi kemasyarakatan bernama Haji Lolong. . . . . .!” tulis suratkabar Realitas, yang merupakan koran bernuansa agama. Tidak seperti biasanya koran itu tidak menynggung-nyinggung terkait agama. Barangkali pimpinan redaksinya sadar betul bila dalam berita itu salah menyimpulkan maka dapat saja menjadi pemicu pecahnya kerusuhan bernuansa suku-agama-ras-dan antar golongan.
Sementara koran lain, Warta Warga, lebih menyoroti tentang keadaan gawat karena kematian Haji Lolong yang terkenal sebagai pelindung Organisasi Cinta Damai yang menguasai sisi hitam perdagangan Pasar Kebon Klengkeng. Ditulisnya sebagai berikut : “Bertahun-tahun Haji Lolong menguasai praktik gelap dalam dunia perdagangan dan kriminal di Pasar Kebon Klengkeng. Bersamaan dengan itu ia membangun bisnis besar. Namun kebakaran besar di restoran Daun Bambu semalam agaknya menghentikan langkah Pak Haji. Dan bersamaan dengan itu organisasi yang berada di belakang semua sepak terjangnya selama ini bakal bubar dengan sendirinya. . . . .!”
Pagi hari media elektronik ikut meramaikan dengan mengundang berbagai narasumber yang dinilai berkompeten untuk mengurai benang basah dalam peristiwa itu. Belasan media televisi, nasional dan daerah, berlomba-lomba untuk mengupas tuntas, mengorek, menggali, dan membahas hingga melebar kemana-mana.
Arjo yang terbangun dari tidurnya hanya sekitar dua jam, segera mengambil wudhu untuk sholat subuh. Sudah jam lima, sebentar lagi langit terang. Lelaki itu membuka ponselnya dan mendapat banyak berita tentang kebakaran semalam. Dan seperti gambaran umum masyarakat, berita media mestinya bukan rujukan utama para pencari kebenaran. Seperti kebiasaannya selama ini ia menulis di facebook apa yang terlintas di kepalanya:
“Bagi media kepentingannya hanya satu, memenuhi syahwat pemiliknya, baik dalam aspek sosial, politik, dan terlebih ekonomi. Menurut survei, kepemilikan media di negeri ini memang digolongkan dalam tiga kategori, yaitu pemiliknya pimpinan partai, pada mantan jenderal yang haus kekuasaan, dan para petualang ekonomi. Khalayak tidak punya peran apa-sapa selain hanya sebagai korban agenda setting yang dibuat entah oleh siapa.”
“Media juga yang terus menerus mencari sisi beda, sisi kurang, sisi jelek, dan bahkan sisi kontradiktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga kalau tidak tawuran antar dua kamung, tidak ada perlawanan dalam penangkapan pelaku kejahatan, tidak macet dalam liputan mudik lebaran, dan tidak ricuh dalam demo, maka itu bukan berita! Media begitu gencar memberitakan seolah bangsa ini tidak dapat melepaskan diri sebagai bangsa terjajah, bangsa pecundang, bangsa kalah, dan karenanya harus selalu begitu selamanya!”