Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta yang Menua - Bab V – Tiga

7 Mei 2016   17:06 Diperbarui: 7 Mei 2016   17:12 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

jakarta belum bebas rokok

Hujan mulai mereda, dan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Akivitas orang di luar masjid,  di belakang terminal bus itu, kembali sibuk dan ramai. Maklum saja terminal hidup spanjang hari, ibaratnya dua puluh empat jam sehari. Lampu merkuri kuning menembus udara malam yang mulai terbebas dari sisa-sisa hujan.

Sementara itu waktu sholat Isya’ masih sekitar lima belas menit lagi. Masih ada kesempatan bagi Arjo untuk memperbaiki cara komunikasi yang buruk dengan Haji Lolong tadi. Sejenak lelaki tua itu berpikir keras mencari-cari alasan kenapa ada nama Bachtiar David yang mengaku menemukan ponsel Arjo.

Untuk tidak mengganggu jemaah yang lain, Arjo mencari tempat duduk di sudut jauh. Dekat pagar keluar. Ia membuat air kopi dulu yang disediakan gratis di masjid itu. Kopi hitam kental dan manis dengan air yang sangat panas tertuang di gelas plastik. Sehingga membawanya pun mesti sangat berhati-hati. Beberapa jemaah lain juga membuat minuman sendiri, kopi atau teh atau jahe panas, atau sekedar air putih. Lumayan untuk menunggu waktu. Arjo urung mengeluarkan bungkusan rokok dan korek apinya saat terbaca pengumuman ‘dilarang merokok di lingkungan masjid Al Furqon’.

Arjo terkekeh sendiri teringat pada petuah seorang kiyai sepuh. Mbah Saleh Nguditomo namanya, tentang rokok. “Kebiasaan buruk apapun harus dicegah, ditinggalkan, bahkan dijauhi. Tetapi bila sudah terlanjur ya perlahan-lahan saja dikurangi, jangan drastis karena kesannya jadi dipaksakan sekali. . . . . .!”

“Tidak boleh ada pemaksaan ya, Mbah Kiyai Ngudi?” tanya Arjo penasaran.

“Tidak boleh. Itu bibir dan tenggorokan punya sendiri, paru-paru punya sendiri, mau dibikin apa ya terserah masing-masing toh. . . . . .!” ujar mbah sepuh sambil menyedot dalam-dalam rokok kreteknya yang menyengat betul bau klembak-menyannya. Wajahnya serius dengan gurat-gurat yang kehitaman karena pekerjaannya sehari-hari sebagai petani yang membiarkan dirinya disiram sinar matahari dari pagi hingga petang.

“Wah jadi menarik bicara soal rokok dan seluk-beluk disekitarnya di mata seorang kiyai sepuh sekaligus petani tembakau sukses. . . . .!” komentar Arjo spontan. Ia mengeluarkan bungkus rokok kreteknya, mengambil sebatang, lalu menyulut dan beberapa saat kemudian menyedotnya dengan sepenuh semangat mendapatkan kehangatan asap bernokotin itu.

Mbah Ngudi ganti tertawa terbahak disebutkan sebagai petani tembakau. Ya, memang itulah pekerjaan sehari-harinya. Jadi bagaimana mungkin ia dapat menghentikan kebiasaannya merokok kalau dengan daun tembakau dihidupinya anak, cucu, bahkan buyut? Bagaimana ia akan membiarkan orang berpendapat seenaknya tentang rokok kalau mereka tidak punya tanggung jawab mengupah belasan orang pekerja harian penggarap lahan pertanian tembakau yang dijalankannya? Tentu itu alasan mbah Ngudi dibalik ucapannya tidak boleh ada pemaksaan agar orang berhenti merokok. “Aku memang petani tembakau turun-temurun!”

Arjo menimpalinya dengan tawa yang tak kalah keras, sambil pelan-pelan mengeluarkan rokok kreteknya. Mengambil sebatang lalu menyulut, dan ketika api di ujung rokok membesar disedotnya bersemangat dan dengan sepenuh perasaan, untuk mendapatkan kehangatan asap bernikotin itu.

Tiap sedotan dan embusan asap putih mengepul menandai kehidupan yang memberi harapan baik, bukan semata soal kesehatan, di sana ada beragam harapan untuk memerkaya rasa kehidupan. Ah, entah alasan apalagi yang harus dikarang untuk mencari pembenaran bahwa rokok yang sudah terlanjur punya dunianya sendiri itu tidak boleh begitu saja dimatikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun