Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Pekerja Kantoran, Alamat Palsu, dan Pendemo

25 Oktober 2016   23:52 Diperbarui: 7 November 2016   12:36 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo mahasiswa berakhir rusuh (Foto: viva.co.id)

Dari kota kecil Darsiwi memantapkan tekat untuk menjadi pekerja kantoran di ibukota. Tidak penting kalaupun ijazah SMA ia tidak punya. Yang diutamakan dapat pekerjaan kantoran. Berbaju-celana seragam, pakai sepatu rapi, dan berpenampilan gagah. Mungkin jadi petugas cleaning service atau office-boy pun cukuplah. Kerja kantoran punya gengsi tinggi di kampungnya. Dengan modal itu ia tak mungkin ditolak lagi oleh si Fatma pujaan hatinya.

“Kalau tidak mau jadi petani mestinya kamu jualan sayur-mayur saja. Atau membantu bapakmu kerja bikin perabotan rumah. Dasar anak tidak mau dinasehati. . . . .!” gerutu Mak Sadrun, ibunda Darsiwi, setengah jengkel.

Darsiwi tidak menjawab apapun. Sudah banyak kata-kata dibujukkan kepada ibunya itu. Namun tidak mempan. Mak Sadrun lebih banyak was-was, kuatir anak semata wayang itu bakal kapiran di kota, lalu jadi gelandangan atau malah jadi pencoleng.

Lelaki jelang dua puluh tahun itu mencium kaki ibunya dengan deraian air mata. Menyandang ransel butut dengan beberapa lembar pakaian terbaik yang dimilikinya. Lalu melambaikan tangan kepada Mak Sudrun. Sholat subuh berjamaah di mushola baru saja usai. Embun masih bergelayutan di daun-daun jagung. Darsiwi sengaja memilih waktu pagi gelap ketika keramaian desanya belum dimulai.

***

Ibukota adalah belantara bangunan beton,  asing dan bikin pusing. Dengan modal pas-pasan Darsiwi mencoba mencari alamat beberapa orang kawan di desa yang menjanjikan membantu mencari pekerjaan. Semua petunjuk menuju alamat sudah diikutinya. Namun hasilnya nihil. Nomor telepon yang diberikan padanya pun ‘tak dikenal’.

Sampai malam Darsiwi masih mencari-cari. Setelah naik bus kota, ganti naik bajaj, lalu ojeg, dan terakhir jalan kaki. Uang habis, badan letih, perut kosong tidak sempat makan. Hanya permen dan air kemasan yang mengisi perutnya. Ia tidak mengeluh, bahkan tertawa kala ingat lagu dangdut Ayu Tingting ‘alamat palsu’. Memilukan sekali.

***

Dan benar, setelah dua minggu menggelandang, Darsiwi benar-benar jadi gelandangan. Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, tanpa harapan. Ia berpindah dari satu bangujnan terlantar ke bangunan terlantar lain, dari satu masjid ke masjid lain, juga di emper-emper toko. Lalu berkeliaran di pasar. Sesekali ada orang minta tolong mengangkat barang. Lain waktu mendorong angkutan mogok. Dan pekerjaan apa saja dilakukannya.

“Benar nasehatmu, Mak. Ke ibukota cuma mau jadi gelandangan. Tidak punya kenalan dan saudara menjadi kendala. Tidak punya modal, pendidikan maupun keterampilan tidak mungkin hidup di ibukota.. . .  .!” keluh Darsiwi suatu malam di emperen toko bersama belasan gelandangan lain.

Hari-harinya dilalui dengan berat dan penuh rintangan. Penampilannya yang sangat memprihatinkan menjadikannya sasaran tindak kekerasan, ancaman, dan korban. Hampir saja ia terjerumus menjadi kurir barang haram. Ada pula yang mengajaknya untuk merampok. Dengan segala keterbatasannya Darsiwi tidak mengurai upaya mencari pekerjaan, kerja kantoran meski hanya sebagai petugas cleaning service, atau office-boy. Tapi tetap nihil!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun