Orang menyebut rumah sebagai tempat tinggal. Orang Jawa menyebutnya omah, orang Sunda menamakannya rorompog, atau bumi. Jika menyebutnya dengan rendah hati menjadi gubuk, namun bila dengan rasa bangga bahkan sombong tentulah istana.
Sedangkan untuk pengertian tinggal dan tinggalin ini yang agak membingungkan. Kata ditinggal dalam bahasa Jawa berarti dijauhi, mendahului, pergi meninggalkan, atau dibiarkan sendiri. Sedangkan ditinggalin berasal dari awalan di diikuti kata tinggal dengan akhiran in. Akhiran itu khas logat Betawi/Jakarta. Artinya bisa menetap, atau sebaliknya pergi meninggalkan, tergantung rasa bahasa si penutur, tergantung pula lagu/intonasi/tekanan kalimat oleh si pembicara.
Itulah yang dilotarkan seorang jamaah sholat Subuh berjamaah di Masjid Babbussalam kelahiran Jakarta ketika berjalan beriringan dengan saya dan beberapa lelaki lain untuk pulang. “Rumah megah itu dibangun untuk ditinggalin sebentar kemudian ditinggalinsampai sekarang!”
Terkait dengan urusan umur, akhirat, dan kesungguh-sungguhan beribadah siang-malam seorang muslim, maka kata rumah dalam kalimat itu dapat pula berarti bumi, atau dunia, atau kehidupan. Kita membangunnya megah (dalam ukuran dan konsep tertentu) untuk kemudian didiami sebentar dan selanjutnya ditinggal pergi. Dalam ungkapan lama disebutkan bahwa ‘urip iki mung sak dermo mampir ngombe’ (Jw. Hidup ini sekadar singgah minum). Lanjutannya ‘ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh’ (Jw. Jangan mudah takjub, jangan mudah kaget, jangan mentang-mentang).
***
Rumah itu megah berlantai tiga. Dari luar tampak dibangun dengan biaya besar. Terlihat dari bahan bangunan maupun perabotan dan kelengkapan lain. Itu berbeda jauh dibandingkan dengan rumah semula, berbeda dibandingkan dengan rumah-rumah sekelilingnya di kompleks perumahan rakyat itu.
“Rumahnya dibangun bagus, Bang? Pasti sangat nyaman ditinggali kelak bila sudah selesai,” puji Bu Mumun sambil memandang ke atas ke bawah pada rumah yang sedang dalam proses penyelesaian itu. “Pasti biayanya besar ya?”
Hans Spatu hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dari rumah kecil yang dimilikinya ia kemudian mampu menyewa dua rumah besar di depan dan sampingnya untuk dijadikan rumah produksi sepatu. Tukangnya bertambah menjadi belasan orang. Permintaan dan harga sepatu sedang naik daun. Maka keuntungan berlimpah dan dari sana pemikiran untuk membangun rumah menjadi kenyataan.
“Sudah lama menabungnya, dan sekarang usaha sepatu saya alhamdulillah dalam istilah pertanian ‘sedang panen’. . .!” jawab Hans Spatu kemudian, dengan suara tertawa lepas yang menandai rasa bangga, senang, dan tentu agak sombong.
“Mudah-mudahan pembangunannya lancar. . . . .!” ucap Bu Mumun sambil berjalan ke ujung gang untuk bergabung dengan beberapa orang ibu yang sedang merubung sayur-mayur dagang si Oboy. Ucapan itu boleh ditafsirkan sebagai harapan tulus, tetapi bisa juga prasangka was-was. Bukan tak mungkin di sana terselip nada iri, atau sebaliknya doa jelek. Yah, hati orang siapa tahu?
Tapi memang, belum sampai dua bulan kemudian, kondisi perekonomi nasional mengalami gonjang-ganjing. Kejang-kejang, morat-marit. Masa panen seperti cepat sekali menjadi masa paceklik. Hidup terasa begitu sulit. Jangankan untuk orang gajian, pengusahapun mengeluh panjang-pendek. Bang Hans Spatu tak terkecuali. Harga bahan baku melonjak tajam. Sementara kesepakatan bisnis sudah telanjur diambil untuk jangka waku tertentu. Rugi besar. Menyesakkan dada.