Ternyata politik dapat dikreasikan menjadi berbagai menu cemilan, makanan dan minuman. Dalam pilkada, menu itu dikamuflasekan menjadi serangan fajar, biaya politik, biaya perahu pengusung, ongkos traspor dan nasi bungkus.
Selain menjadi makanan dan minuman, politik dapat difungsikan pula menjadi aneka mainan, hiburan, judi, sandaran bahkan pasangan hidup. Banyak orang yang rela bercerai dari suami/isteri gara-gara membeli politik. Tak terbilang orang yang mengabaikan agamanya karena takut ditinggal politik. Jutaan orang yang tambah beringas karena politik. Banyak orang yang menjadi obesitas karena kemaruk memanfaatkan kedigdayaan politik. Begitupun tak kurang-kurang orang yang tertimpa stres, patah hati, kecewa, linglung, geram, putus-asa dan sakit jiwa gara-gara politik.
Di negeri ini betapa berlimpah orang yang mengandalkan politik itu. Mereka seperti menyembah, mengagungkan, dan menuhankan politik itu. Mereka berbondong-bondong masuk partai semata untuk mendapatkan masa depan, mata pencaharian, dan terutama mendapatkan biaya dapur. Tidak mengherankan kemudian banyak orang yang terjebak pada perilaku menghalalkan segala cara. Penampilan boleh alim, sholeh, agamis, santun, berwibawa dan semacamnya; namun sifat asli ‘cinta-dunia’ tidak mudah disembunyikan.
Seorang ulama kondang pada masa lalu pernah berterus-terang bahwa periode ketika ia berada dalam sebuah partai politik sebagai zaman jahiliyah. Berilmu tinggi pada keduniawian, namun abai dari beriman kepada Allah. Sebelumnya ia menjadi pimpinan partai gurem memanfaatkan popularitasnya sebagai seorang da’i. Setelah menyadari ada yang keliru, ia memilih kembali pada panggilan jiwanya sampai ajal menjemput. Ya jahiliyah, ucapnya memberi alasan, dan hal itu sungguh tidak mudah untuk dibantah.
***
Suatu malam pada sebuah warung kopi dipinggir kota. Darwan termangu-mangu untuk mencari jalan keluar atas kesulitan hidupnya. Kesulitan apa lagi kalau bukan soal ekonomi, soal pekerjaan yang tidak menentu, soal upah yang tidak memadai, juga soal kondisi keluarga yang miskin dan menuntut ketersediaan uang yang lebih banyak.
“Kita ikut demo saja besok ya? Meski kecil uangnya, lumayanlah daripada ngelamun di rumah. . . . !” ajak Mang Dirun yang sejak tadi mengawasi wajah Darwan seperti tertutup mendung.
“Ada cara lain yang lebih mudah dan hasilnya besar. . . . !” sambung Sukadi saat berbisik ke telinga Darwan.
“Apa itu?” tanya Mang Dirun penasaran.
“Kalau para pengurus partai dan pejabat publik makan politik, kenapa kita tidak mengikuti jejak mereka?” jawab Sukadi sangat diplomatis.
Darwan menggeleng spontan. Tapi tak urung kepincut juga ia pada ide cemerlang Sukadi. Terbukti esok malamnya, ketika euforia demo belum juga bubar jelang maghrib dan harus berakhir dengan bentrok antara pendemo dengan petugas keamanan, terjadi penjarahan sebuah pasar swalayan. Darwan dan Sukadi tampak panik berdesakan diantara puluhan orang penjarah. Keduanya bertopi kain coklat menutupi dahi, memanggul karung plastik besar dan berat keluar dari pasar swalayan . . . . .!***
Sekemirung, 7 November 2016/7 Safar 1438