Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Cinta Mati pada Si Genjik (Satu)

27 Maret 2017   14:54 Diperbarui: 29 Maret 2017   07:00 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tapak kaki satwa berkaki empat

Cinta mati itu perkara agung, gawat, heboh, dan seringkali jadi setengah gaib alias mistis. Ya betapa tidak, cinta itu terkait dengan urusan strom, alias arus listrik, bahkan proses kimiawi yang alamiah, namun sungguh tak mudah diurai dengan kata-kata. Maka ketika seseorang dilanda perasaan cintasedemikian itu akan banyak orang yang menganggapnya sangat waras, atau sebaliknya sangat gila. Itu dua penilaian yang sama-sama subyektif, sma-sama sulit dan rumit.

Begitu pun tatkala seseorang menyatakan dengan lantang, tegas, dan tampak sangat waras bakal sangat mencintai si Genjik, maka berbagai prasangka bermunculan. Oya, sebagai tambahan keterangan, si Genjik tak lain nama satwa kecil yang memiliki beberapa karakter campuran antara hewan pengerat, pemakan segala, bertaring, kaki empat, berkulit tebal, dan sangat merisik. Sesekali saja ia muncul, biasanya Maghrib hingga setelah Subuh, dan tidak mudah dikenali apakah ia benar satwa, manusia jadi-jadian, atau semacam siluman yang akan terus mengganggu kehidupan warga Kampung Sengkarut itu. 

“Tadi malam muncul lagi dia, Wir. Aku lagi jongkok di tepi muara, kulihat jelas ia melintas di seberang kali. Ada banyak kawanannya. Tapi tampak ia yang paling besar, gagah, dan berdiri paling depan.. . . . .!” ucap Pademo setengah berbisik kepada Icik Kiwir yang sama-sama menunggu penumpang ojeg di pangkalan ‘Menunggu Godot’.

“Genjik, Mo? Siapa?” ucap Icik Kiwir setengah berteriak. Maklum telinganya rada budeg.

“Si Genjik! Itu mahluk  mistis yang menyebar teror dan konon suka makan bayi. . . . .!”

“O, anjing buduk pemakan bayi? Begaimana ceritanya, Mo?” kembali Si Icik bertanya tidak nyambung, dengan wajah datar tanpa perasaan bersalah.

“Tidak ada yang menyebutkan mahluk itu anjing. Berkaki empat memang, tapi entah hewan apa ia. Soal makan bayi juga belum tahu. Masih misterius. . . . .!” seru Pademo dengan urat leher menegang.

“Ya, misterius. Jadi kita boleh menyebutnya apa saja ‘kan?”

Pademo melengos, tak menjawab. Seorang calon penumpang mendekat, dan cepat saja Fatmo, yang sering dipanggil Pademo, menyorongkan jok belakang motornya. “Jangan membonceng motor si Icik itu, Non. Kupingnya budeg parah, nggak asyik diajak ngobrol dalam perjalanan . .!”

Perempuan muda yang langsing, lembut dan lumayan cantik itu mendekatkan telinganya ke mulut Pademo. “Abang ngrasanin saya ya?”

 “Waduh ketemu satu lagi nih. . . . .!” seru Pademo seraya bergegas mendekati Icik Kiwir dan mencolek lengan lelaki itu. “Hei, Icik Kiwir, kamu saja yang mengantar langganan baru kita. Kalian boleh ngobrol sepanjang jalan, asal suaramu digas kenceng, mana tahu kalian berjodoh. . . . . . . .!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun