Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Masa Kecil: dari Gedung Sekolah Direhab hingga Panen Ikan

16 Oktober 2014   20:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:45 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masa kecil selalu indah untuk dikenang. Indah bukan hanya untuk hal yang menyenangkan. Tapi bahkan untuk hal-hal yang tidak menyenangkan, konyol, mengesalkan, dan juga  yang menakutkan. Tiap orang pasti punya pengalaman masa kecil. Kejadian-kejadian sederhana yang tidak gampang dilupakan. Meski kemudian -seiring perjalanan usia- mulai kehilangan detailnya. Untuk itu cerita usang apapun ini perlu dituliskan.

Gedung Sekolah Direhab

Meski sekarang pun masih ada sekolah reyot dan kumuh, tapi tentu tahun 1960-1970 jauh lebih banyak. Saya meski sekolah di SD Negeri Satu Ampel, satu ketika mengalami bersekolah di rumah penduduk yang memiliki pendopo (rumah depan). Antara kelas satu dengan kelas lainnya berjauhan, karena rumah penduduk pun masih berjauhan.

Ceritanya gedung sekolah sedang direhab. Itu tahun 1968. Mungkin saking parahnya kerusakan, atau kebetulan biaya datang untuk rehab menyeluruh. Kegiatan belajar-mengajar pun dipindahkan ke rumah-rumah penduduk beberapa ratus meter dari sekolah.

Bayangkan bagaimana situasi ruangan kelasnya. Selain sempit, gelap karena tidak ada jendela dan genteng kaca, juga panas dan gaduh dengan suara sapi, kelas darurat itu memang bersebelahan dengan kandang sapi. Suasana kelas makin runyam manakala musim tanam tiba. Sebab saat itu kotoran sapi dibongkar, lalu diangkut sebagai pupuk. Jangan tanya baunya, menyengat dan membuat perut mual. Para siswa jadi kurang konsentrasi menerima pelajaran dari guru.

Bu Guru mengingatkan agar kami membiasakan diri dengan bau kotoran sapi. Dijelaskan, kotoran itu sebagai pupuk yang menyuburkan aneka tumbuhan yang kita makan sehari-hari.

Maka para siswa mencoba untuk berkompromi dengan hidung dan perut. Tapi namanya juga bau menyengat. Betapapun darurat ditahan-tahan ada saja siswa yang memilih mangkir. Ada yang bawa penutup hidung dan bau-bauan pengharum sebagai penangkal. Sampai kemduian musim tanam selesai, kami dapat bernafas lega. Tapi suara lenguhan sapi masih setia menemani pelajaran. Jika rehab gedung sekolah tidak segera selesai, pada musim tanam mendatang bau pupuk kandang nan menusuk hidung itu bakal kembali menyerang….!

Turun ke Sawah

Seorang guru kami, namanya Pak Darto, selain mengajar juga memiliki beberapa petak sawah. Sewaktu musim tanam tiba, entah mendapatkan pemikiran dari mana, Pak Darto mengajak para murid kelas lima untuk ikut turun ke sawah.

Di sana kami diajar menggemburkan tanah, meratakannya, lalu menanam padi. Air mengucur deras dan kami bermain lumpur. Cara menanam padi gampang. Kami berdiri lulur berjajar, memegang benih, lalu berjalan mundur sambil setiap kali batang padi kecil itu ditancapkan ke dalam  lumpur satu per satu pada tempat yang sudah ditandai. Oya, sebelum benih padi ditanam, terlebih dahulu sudah dibuat garis-garis, membentuk kotak-kotak, agar jarak antar benih teratur. Tidak terlalu jauh atau terlalu dekat.

Pak Darto menjelaskan, batang padi akan beranak menjadi satu rumpun. Agar tumbuhnya subur, jarak pun diatur sehingga akar padi satu dengan lainnya cukup jauh.

Selain menanam, kami juga melihat orang-orang membajak sawah menggunakan penarik sepasang kerbau. Ada beberapa teman yang ikut turun ke lumpur yang sedang dibajak. Mereka mengikuti jalannya bajak hingga tanah gembur dan rata, selanjutnya padi siap ditanam.

Hari itu kelas lima pulang ke rumah masing-masing dengan kaki, tangan dan pakaian penuh lumpur. Waktu itu kami belum mengenakan sepatu, alias bertelanjang kaki. Kami merasa hari itu mendapatkan pelajaran yang menyenangkan sekali!

Mencuri buah

Namanya juga anak-anak, akan gatal sekali kalau tidak mencari sesuatu yang menantang. Ya, menantang keberanian, kenekatan, juga kenakalan. Salah satunya tidak lain mencuri buah.  Papaya, sirsak, rambutan, jambu batu, jagung, bahkan juga ubi jalar dan tebu.

Pada masa itu orang berjualan makanan tidak sebanyak sekarang. Warung dan kios makanan hanya ada di pasar desa. Itupun waktunya hanya setengah hari. Kalaupun banyak makanan dijual tentu duitnya tidak ada. Jadi makanan yang siap saji ya yang masih begelantungan di pohon….! Mungkin masih mentah, dan beruntung kalau suah matang. Entah itu pohon siapa….

Tangan-tangan kecil nan jahil, itulah kreasi kami waktu itu. Semangatnya adalah bermain-main, meski sering pula jadi serius kerena perut lapar.

Aksi pencurian buah yang tidak diketahui pemiliknya, atau bahkan mereka tidak peduli. Toh h anya buah yang banyak lainnya. Tapi nyolong tebu ada ceritanya tersendiri. Kami berlima selesai bermain sepakbola di lapangan seberang desa. Jalan pulangnya melalui kebun tebu, seketika timbul niat jahat kami. Tanpa piker panjang kami mencabut batang tebu yang hampir berbunga. Masing-masing mendapatkan dua selonjor panjang. Lalu kami pulang dengan berjalan beriringan melalui jalan setapak.

Di ujung kebun sejumlah petugas perkebunan sudah menunggu. Tidak ada yang dimarahi. Hanya diberi nasehat agar tidak membiasakan diri mencuri. Karena mencuri itu dosa. Setelah itu kami disuruh memakan tebu kami masing-masing sampai habis. Kata mereka, tebu tidak boleh dibawa pulang. Habiskan berapapun yang kalian curi….!

Manis sekali rasa batang-batang tebu, apalagi disesap sehabis bermain sepakbola dengan keringat berleleran. Tapi sesudahnya gigi-gigi berasa  ngilu, lidah jadi luka-luka karena batang tebu memang keras…. Bayangkan, dua selonjor tebu harus kami habiskan sendiri. Rasa manis berubah jadi pahit. Sebab lidah perih, sakit!

Mencari Belut

Kala itu belut dapat dijumpai dengan mudah di sungai-sungai kecil. Ada mata air dan dibawahnya mengalir sungai kecil di belakang asrama polisi Desa Candi. Mata air di tampung di bak besar, lalu air dialirkan untuk mandi dan mencuci pakaian. Sungai kecil di bawahnya tak pernah kering meski musim kemarau panjang. Di kiri-kanan rimbun ditumbuhi pohon bambu. Di bawah situ, diantara lumpur dan batu-batu, banyak belut bersarang.

Kami berenam membawa dua buah cangkul, sebuah lampu petromaks,  dan sebuah ember ukuran sedang. Aku yang paling kecil usianya diantara mereka mendapatkan tugas membawa ember untuk menampung hasil.

Sampai di sungai dangkal itu kami langsung mencari tempat-tempat yang diperkirakan menjadi sarang belut. Teman-teman mulai mencangkul membalik-balik lumpur dan batu. Petromaks mendekat manakala dijumpai sarang belut, dan kami ramai-ramai menangkap hewan licin itu sebelum berlarian sulit dipegang. Ember kecil itu pun kudekatkan. Dalam satu sarang tiga hingga lima belut berkumpul. Jadi mudah saja menangkapnya.

Hampir tengah malam ketika ember penuh belut, kami pun pulang. Berjalan beriringan aku berada paling belakang. Sesampai di rumah salah seorang teman, betapa terkejutnya kami karena isi ember tinggal separuhnya. Tentu saja teman-teman menyalahkankan. Aku tidak bisa berkilah. Menurut mereka karena goncangan selama berjalan maka belut-belut itu berlompatan keluar ember sepanjang setapak tanpa kuketahui…..!

Panen Ikan

Soal memangkap ikan, lain lagi ceritanya. Saat itu aku sudah kelas enam SD dan pindah ke Wates. Hampir tiap sore aku mencari kayu bakar di seberang sungai. Yang paling mudah kudapat pelepah daun kelapa. Setelah kubersihan jajaran lidi disamping, lalu pelepah dipotong-potong dan diikat, agar mudah dibawa.

Suatu sore sedang asyik mengumpulkan pelepah daun kelapa, aku dikejutkan suara dentuman keras. Masih sempat kulihat ke arah barat, air muncrat hingga tinggi hingga di atas pohon kepala. Aku tidak menduga-duga apa yang terjadi.

Saat pulang menyeberang dengan hati-hati diantara batu-batu dan pasir sungai, dengan menyunggi (membawa beban di atas kepala) pelepah daun kelapa, kulihat beberapa ekor ikan sebesar telapak tangan menggelepar-gelepar di pinggiran kedung (bagian sungai  yang terdalam). Kuturunkan beban dari atas kepala. Lalu cepat kutangkap ikan-ikan itu. Kumasukkan kebalik baju. Ada yang  masih bergerak mendesak-desak kulit perut. Ikan-ikan itu rupanya mabuk, belum mati. Petang itu aku panen ikan sendirian.

Aku baru ingat soal ledakan tadi, mungkin granat. Mereka pulang karena dirasa tidak ada lagi ikan yang dapat dikumpulkan. Padahal ternyata masih banyak ikan yang tertinggal. Hari menjelang maghrib. Kalau tidak takut kemalaman masih banyak lagi ikan dapat kukumpulkan.

Sesampai di rumah kuhitung ada dua puluh satu ekor ikan berukuran tiga hingga empat ons per ekor. Lumayanlah, malam dan keesokan harinya bapak-ibu dan kami enam bersaudara, serta beberapa orang tetangga, pesta ikan sungai.

Penutup

Itulah beberapa cerita yang dengan susah-payah kuingat tentang beberapa peristiwa yang kualami pada masa kecil. Masih ada beberapa cerita lain yang dapat diceritakan, meski bukan cerita manis. Cerita itu untuk mendokumentasikan ingatan yang mulai rapuh. Bukan cerita yang hebat-hebat memang. Oleh karena itu kuucapkan terimakasih bagi yang berkenan membaca cerita ini.

Bandung, 15 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun