Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ayo Demo, tapi Kreatiflah

17 November 2014   23:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:35 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416226840717662555

[caption id="attachment_376066" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi - Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) menyandra mobil tangki milik Pertamina di depan kampusnya Jl AP Pettarani, Kamis (6/11/2014). (KOMPAS.com/Hendra Cipto)"][/caption]

Demo menjadi sisi lain yang mendebarkan ketika kita menjadi mahasiswa. Belum lengkap predikat mahasiswanya kalau tidak ikutan demo. Apalagi kalau sampai masuk koran, diliput televisi, dan jadi bahan perbincangan sesama teman mahasiswa. Hebat luar biasa itu. Saking getolnya demo, dengan segenap kegiatan ikutan lain yang menguras tenaga dan pikiran, tidak sedikit anak muda yang rela menjadi mahasiswa abadi bahkan dropout. Apa mau dikata?

Takut demo? Tidak perlu, maka teruslah berdemo, kalau perlu siang-malam meski dengan meninggalkan jadwal kuliah atau ujian, demi demo. Ya, demonstrasi, dan jadilah demonstrans yang tangguh. Heroik sekali itu. Tapi terus untuk apa? Pengalaman saya terjebak dalam demo hingga ada beberapa panser masuk Kampus Bulaksumur tahun 1979 tidak memberikan kebanggaan apa pun.

Entah perasaan apa bagi rekan mahasiswa lain yang saat itu terkena peluru kakinya, memar dan terluka dihantam tendang dan popor senapan, atau yang tertangkap dan harus apel ke Korem. Lucunya ada teman aktivis demo antipemerintah yang kemudian melalui Program Wamil menjadi tentara. Yang lain menjadi pegawai Pemerintah yang selama ini didemonya mati-matian.

Kenaikan Harga, Rusuh
Kenaikan harga apa pun, terlebih harga BBM harus disertai dengan demo mahasiswa. Itu sebuah kepastian hukum yang tidak tertulis. Ujungnya ada bakar-bakaran, lalu rusuh. Polisi dianiaya mahasiswa, atau sebaliknya. Akibatnya ada yang cedera bahkan tewas karena penganiaya maupun peluru nyasar.


Format narasi sederhana untuk berita televisi adalah ‘demo mahasiswa yang semula damai untuk menentang kenaikan harga BBM, berakhir rusuh’. Reporter berita tutup mata saja menuliskan kalimat itu. Rusuh menjadi kata kunci, dan selesai. Menjadi klise, dan sekaligus kabur untuk menyentuh substansi permasalahan.

Suasana makin panas karena dari satu pihak ada yang terluka, atau tewas. Ditambah lagi adanya visual pemukulan/pengeroyokan dan pengrusakan fasilitas umum yang dibiarkan tersiar telanjang di media. Itu memprovokasi antipati satu pihak kepada pihak lain.

Tentu stasiun televisi akan lepas tangan bila dimintai tanggung jawabnya menyiarkan berita yang asal heboh itu. Tapi begitulah, mahasiswa akan bangga karena fakultas dan universitas tempatnya menempuh ilmu ramai disebut di media massa. Mahasiswa dari universitas lain akan sangat iri karena dianggap tidak punya cukup kepedulian.

Setelah Kota Makassar, Medan, lalu Mataram, akan segera diikuti dengan kota lain, semisal Malang, Mbandung, Manado, Madiun, Merauke, Mbalikpapan. Televisi, sekali lagi, bakal mendapatkan durian runtuh berupa kehebohan yang tak henti-henti, sebelum dan sesudah harga BBM dinaikkan. Iklan antri panjang, pemilik media menangguk untung berlipat kali.

Demo Kreatif, Semua Menang
Pasti ada cara lain sebenarnya untuk berbeda yang agak lebih bergengsi, bergaya, bermartabat, serta kreatif. Apa iya, sih? Ya, iyalah! Turun ke jalan dengan gaya demo lama sebaiknya tinggalkan, bahkan jauhi, karena gaya jalanan itu menakutkan dan merepotkan masyarakat luas. Jalan macet, angkutan umum kesulitan cari penumpang, suasana tegang/genting, toko dan aneka jenis usaha tutup, muncul efek samping yang tak terduga dampaknya. Padahal yang mau dibela rakyat?

Bagaimana penjabarannya hingga lebih bergengsi, bergaya, dan bermartabat itu? Pindahkan arena demo dari di jalan raya ke dalam ruang tertutup, aula, hall, atau apa saja di kota-kota provinsi. Lalu buat sejumlah tim yang terdiri dari tim yang pro dan tim yang kontra. Lalu debatlah di sana, dari pagi-siang-malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun