Meski berbeda hari dalam pilihan kapan mulai berpuasa Ramadan tahun ini, keluarga Kang Baban Sobandi tetap rukun dengan tetangganya yang bermarga 'Si' dan sudah menjadi muslim sejak lama, tak berkurang keakrabannya.
Kang Baban dan Bang Wildan ketemu di masjid An Nur hampir setiap subuh. Pada waktu jadwal salat berjemaah lain mereka jarang ketemu karena berbeda jadwal kerja.
"Shaum lebih awal, atau ikut jadwal Pemerintah, Bang?" tanya Kang Baban setelah salam dan berzikir sekitar lima menitan.
"Sabtu, lebih awal, kayaknya menyenangkan. . . . . !" sekenanya Bang Wildan menjawab. Padahal ia punya pemikiran lain, dibanding sekadar mengikuti satu ormas tertentu yang jauh-jauh hari sudah punya jadwal.
"Ehh, baru tahu Abang ini ikut ormas Muhammadiyah, ya?"
"Nggak juga. Kebetulan Sabtu kehabisan beras, dompet kosong, mau kerja lembur terasa badan kuang sehat. Jadi pilih di rumah saja, malas-malasan, meski harus dengan perut keroncongan lantaran puasa karena keterpaksaan. . . . . . !" Bang Wildan berdalih.
"Ah, andai aku bisa membantu, Bang. . . . !"
"Nggak apa-apa. Jangan terlalu cengeng menghadapi ketidakpastian. Bukankah itu juga perintah agama? Jangan goyah, dan tetaplah percaya pada rencana baik Allah. . . . !"
Mang Baban Sobanti tercenung beberapa saat. Ia teringat tausiah seorang guru ngaji. Bukankah sangat tekenal cerita Rasul, ketika suatu hari beliau bertanya kepada isterinya 'apa punya makanan hari ini?', dan dijawab 'tidak ada', langsung junjungan alam itu menyatakan diri untuk melakukan shaum.
"Kenapa, Mang? Seperti ada yang rumit dipikirkan?"