Membiasakan diri, itu kata kuncinya. Membiasakan hal baik, maka akan terbiasa dengan segenap kebaikan. Tapi tentu kesadaran selalu datang terlambat.
Begitulah Mak Jumilah dan Bang Brengos menyadari diri dan kekurangan mereka. Bangun jam 3 meski aras-arasen (Jw), alias ogah-ogahan, memang sesuatu sekali. Masih ngantuk, merasa belum puas tidur, Â malas, dan seterusnya, menjadi penghambat.
"Sudah jam tiga, Bang. Bangun, tahajud. . . . . !" ucap Mak Jumilah sambil menggoyang-goyang ujung kaki suaminya.
"Baru jam tiga, Bu. Biar kuteruskan dulu barang beberapa menit. . . . . !" jawab Bang Brengos serasa menaikkan selimut, dan bergantgi arah tidur.
"Ketiduran nanti. Nanti terbangun lagi pas azan. Lewat tahajudnya. . . .!"
Dalam bahasa agama, itulah godaan setan. Jangan lupa, apapun yang menuju kebaikan itu selalu ada penghalangnya. Dan setan yang menyusup di dalam hati mempengaruhi. Maka perlu dibiasakan, Terus-menerus dibiasakan. Sampai sikap kita berubah dari memenuhi perintah salat sekadar memenuhi kewajiban menjadi kebutuhan.
*
Masjid Azam cukup besar untuk ukuran pinggiran kota. Jemaahnya terbatas. Sebab ia dibangun belakanganya. Ada beberapa masjid kecil dan musalah di sekitarnya.
Ke sana Mak Jumilah dan Bang Brengos salat subuh berjemaah setiap harinya. Gerimis sempat turun, tapi sebentar. Mang Yana mengumandangkan azan. Memanggil jemaah melalui pelantang, alias speaker, yang diletakkan di atas lantai tiga.
Pada saat bersamaan pelantang dari masjid dan musala sekitar bersahutan. Jumlah Jemaah tak berubah. Segitu-gitunya. Salat subuh berjamaah di masjid memang bukan hal mudah dijalani. Itu mengapa mereka yang rajin mendapat predikat tersendiri, yang membedakannya dengan muslim lain.