Rasanya ia belum cukup memahami filosofi: bola itu bundar. Coba tanya tanggapannya ketika Arhan Pratama membuat gol hingga mengubah kedudukan menjadi 2 -- 2. Apa komentarnya ketika Nadeo Argawinata mampu menepis tendangan penalti Faris Ramli dari Timnas Singapura pada menit-menit sebelum pertandingan berakhir?
Jika ia tidak merasa tergetar dan sangat gembira, rasanya ia tidak cocok menjadi warga negara Indonesia. Â Â Â
*
Anehnya ketika meminta maaf, dan mengklarifikasi, terasa betul sok bijak. Dengan melebar-lebarkan uraian, hingga tampak sekali ia tidak ikhlas, dan tidak mau mengakui kesalahannya. Ia tampak sangat bangga punya pendapat melawan arus. Padahal sebenarnya ia bisa menyampaikan dengan cara berbeda. Misal, Timnas akan kalah bila. . . . , dst.
*
Sikap dan komentar Ardes bila ditelusuri lebih jauh dapat saja menyangkut banyak hal lain. Misal, tentang kondisi sikap-mental dan kebanggaan kita dalam berbangsa dan bernegara. Jangan-jangan ia termasuk generasi milenial yang masih terpaku pada sikap inlander zaman kolonial? Menderita "minderwaardigheidscomplex" (Bld, kompleks rendah diri)?
Mungkinkah praktik politik identitas sejumlah elit politik selama ini telah merasuki dirinya hingga tak perlu ada lagi rasa hormat, merasa memiliki, dan apa lagi bela rasa terhadap bangsa sendiri? Parah. Tragis.
Penjajah mengintimidasi dan mengkondisikan bangsa jajahan seperti itu, dan setelah hampir 100 tahun penjajah pergi ternyata hasil karya mereka masih ada penganutnya.
*
Timnas Indonesia pada leg pertama final Piala AFF Suzuki 2020 malam ini (29/12/2021) belum tentu mampu menahan imbang Timnas Thailand Rabu. Sekadar menahan imbang pun tidak mudah.
Jadi, mari kita abaikan komentar Ardes yang meremehkan Timnas Indonesia, apapun alasan-dalih dan pembenarannya. Ia sudah minta maaf, meski tampak tidak ikhlas.