Atas kejadian ini Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan pada Rabu (21/7/2021) mengganjar pelaku dengan vonis 4 tahun penjara.
*
Ada lagi peristiwa laknat dengan pelaku sepasang suami-istri. Entah setan apa yang merasuki, mereka bersekongkol menjadi algojo atas anak sendiri.
Suami-isteri, yaitu Aan (33) dan SD (25) di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan, dengan dingin dan tega melakukan penganiaya berat kepada AP (11), anak kandungnya sendiri. Bukan sekali, tapi berulang. Akumulasi penganiayaan berujung maut. Sumber 3/
Anak sulung dari tiga bersaudara itu menderita keterbelakangan mental, atau down syndrome. Media lain menyebutnya mengidap autis. Karena kondisinya itu perilakunya pun tak terkontrol. Ia terbiasa buang air besar di mana saja, berceceran dari depan hingga belakang dalam rumah.
Disulut emosi dan kesal suami-isteri itu menganiaya anak mereka menggunakan selang plastik dan gayung hingga tewas. dengan luka robek, luka lecet, dan memar di sekujur tubuh. AP yang tergolek bukannya dibawa ke rumah sakit, melainkan justru ke rumah Neneknya. Dan kemudian diketahui sudah meninggal.
Atas kejadian itu warga setempat melapor ke Polsek Babat Toman. Aan Aprizal dan SD, istrinya, diproses hukum. Keduanya diancam hukuman lebih dari 15 tahun. Menurut pemberitaan lain keduanya bahkan terancam hukuman seumur hidup. Sumber 4/
Simak pula tulisan menarik tentang 25 Tahun Sabar Menunggu Bayi Tabung
*
Dari tahun ke tahun kejadian tragis-sadis-dramatis itu selalu berulang. Enam peristiwa pembunuhan orangtua terhadap anak yang terjadi pada tahun 216 disebabkan keluarga tidak harmonis, pertengkaran suami/isteri dan anak dijadikan pelampiasan emosi/kemarahan, depresi berat si ibu karena persalinan dengan operasi Caesar dengan biaya besar, penilaian anak bandel/tidak menurut orangtua, serta peaku menderita skizofrenia/halusinasi. Sumber 5/
Apapun alasannya membunuh anak secara fisik maupun psikhis, adalah salah, dosa, dan berkonsekuensi hukum. Orang lain niscaya mudah mendapatkan penjelasan logis perilaku mereka. Yang dapat dilakukan hanya mengambil hikmahnya. Pertama, hindari aneka alasan agar kita tidak mendapatkan pembenar untuk "membunuh" anak kandung.