Azis Syamsuddin mengikuti jejak banyak pengusaha dan pejabat/petinggi lain yang harus berurusan dengan lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mungkin, ia pernah mempelajari sikap yang harus diperlihatkan ketika berjalan di depan awak media dalam posisi sebagai orang yang diduga tersangkut kasus korupsi.
Sebelum Azis ada terduga/tersangka korupsi yang dengan suka rela, atau terpaksa, meladeni pertanyaan awak media. Jawaban mereka rata-rata standar saja "Akan mengikuti prosedur hukum yang ada. . . ." Tetapi ada pula yang coba berkilah, berdalih, dan menyatakan diri tidak tdahu-menahu, tidak terlibat, atau tidak bersalah.
Terbanyak tentu yang enggan memberi komentar atau menanggapi "interogasi" dadakan para wartawan. Ya, maklumlah. Jumlah nyamuk pers itu (sebutan tempo doeloe) bukan belasan, sering puluhan. Mereka sahut-menyahut adu keras suara, bertubi-tubi, dan saling mendahului dalam mengajukan pertanyaan-pernyataan dan tuduhan.
Orang akan bingung bila belum terbiasa. Dan bakal semakin bingung sebab otak sedang pusing memikirkan jawab atas pertanyaan petugas KPK nanti. Tidak mengherankan orang-orang yang berurusan dengan KPK memilih bungkam, setidaknya irit bicara. Kebanyakan hanya tersenyum, melambaikan tangan, mengangkat bahu, mengacungkan jempol, dan bahasa tubuh lain. Â Â
Sekali lagi, Azis Syamsuddin kiranya sudah mempelajari betul hal-hal itu. Dan ia tidak mau menjadi penjiplak. Ia pilih melengos. Atas penggilan KPK, Azis Syamsuddin coba menggunakan jurus konvensional: mengaku sakit (secara tidak langsung, sedang isoman). Padahal setelah dites antigen hasilnya negatif.
Tentu hatinya sedang gundah, kesal, geram, kacau-balau, bahkan merinding. Jadi, apa pula perlunya meladeni sapa dan tanya sok akrab dan sok kritis dari para jurnalis itu?
*
Sebelum lebih jauh menelisik tentang kata melengos, bagus kita singkap dulu ihwal "kerja" para wartawan yang nge-pos di sana.
Kantor KPK menjadi salah satu "sarang" awak media. Ke sana para pemburu berita dari aneka media arus utama maupun media online "menunggu mangsa". Bukan sporadis, sesekali, atau bila ada momen tertentu. Tak sedikit diantaranya setiap saat. Ibaratnya 24 jam sehari, 7 hari seminggu terus mengintai.
Dulu pada beberapa institusi menyediakan ruangan khusus untuk awak media. Dilengkapi personal meja-kursi-pesawat tv, komputer, telepon, wifi, mesin tik, dan kertas. Tak jarang disediakan peralatan/bahan-bahan untuk ngopi atau makan mie instan.