Tulisan ini saya buat untuk mengenang seorang kawan lama, Amos Gintings, yang kemarin pagi  (28 Juli 2021) berpulang. Saat itu ia dirawat di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou, Malalayang, Manado.
Kenangan saya  sangat intens terutama selama 3 tahun kami (dia, saya, dan seorang teman lagi, DS Widarno atau Wiwid - berpulang di Yogyakarta awal 2000-an) menempati sebuah rumah kontrak sederhana di kawasan Paldua, Manado.Â
Amos seorang teman untuk ngobrol, diskusi, berguru, bergurau, dan berbagi dalam satu rumah kontrak. Postingannya di medsos beberapa hari sebelum meninggal tampak sehat. Tiba-tiba saja diantara banyak kabar duka ada yang mengenai dirinya.
*
Rumah itu sederhana saja. Rumah khas Minahasa. Beratap seng rendah, berdinding tembok. Seperti  rumah-rumah lain di sana kala itu. Ada dua kamar tidur, ruang tamu dan ruang makan, dapur dan kamar mandi. Dari jalan raya Manado -- Bitung masuk lorong (atau jalan/gang) sekitar seratus meter.
Nama Paal Dua merujuk pada jarak kilometer dari titik nol di pusat kota Manado ke berbagai arah ke luar kota.  Nama Paal Dua cukup dikenal karena  digunakan untuk nama kampung.  Bayangkan betapa panasnya berada di rumah pada siang hari di kota pantai itu.  Tapi lumayan ada tiupan angin dari halaman kecil depan dan samping rumah. Tentu bila rajin membuka daun pintu dan jendela lebar-lebar. Masih banyak pula pepohonan di sana.
Tanggal 21 April 1983 ketika saya, DS Widarno (nama panggilan Wiwid), dan Onny Rahanra (teman sesama rekruitmen pegawai dari TVRI Yogyakarta), untuk pertama menempati rumah itu. Di sana  ada Amos Ginting Suka (ditulisnya menjadi Amos Gintings), yang sudah tinggal beberapa waktu lamanya. Ia rekruitmen dari TVRI Jakarta.
Berbeda dengan saya-Wiwid-Onny, penempatan Amos bersifat menugasan, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil ke Jakarta. Begitu beberapa kali ia bercerita. Saat itu Direktur TVRI Ishadi SK. Namun, sampai Pak Ishadi SK lengser dari jabatannya ternyata panggilan yang ditunggu tak kunjung muncul.
Tahun 1990 ketika saya memilih pindah ke Jawa Barat, Bang Amos menyatakan akan bertahan di Manado. Menunggu panggilan, katanya. Terlebih saat itu ia sudah punya isteri orang Manado dan rumah di Perkamil.
*
Sebelum diterima sebagai pegawai TVRI ia bekerja sebagai wartawan di koran Wartawan Harian 45, Jurnal Ekuin, Majalah Tempo. Lelaki kelahiran Kabanjahe, Karo -- Sumut pada 1976 itu kuliah di Jurusan Jurnalistik, Sekolah tinggi Publisistik (STP, kemudian menjadi Perguruan Tinggi Publisitik) hingga meraih gelar sarjana muda.
Entah bagaimana prosesnya Bang Amos Gintings akhirnya pindah juga ke Jakarta. Ia menjadi reporter, dan salah satu andalan di sana. Kemudian menjabat sebagai Kepala Bidang Berita TVRI Surabaya/Jawa Timur dan General Manager Berita TVRI Nasional.
*
Dari pertemanan kami di rumah kontrak, ada beberapa catatan perlu saya tuliskan di sini. Pertama, dalam obrolan kami tidak pernah membahas diri kami masing-masing. Belakangan baru saya sadari, ternyata itu salah satu cara menghindari konflik.
Sesekali Amos bercerita penggalan-penggalan kehidupannya sewaktu di Medan, Surabaya, maupun Jakarta. Juga perjalanan kedinasan ke luar kota (diantaranya Gorontalo, Sangihe -Talaud, Palu, Ternate) yang kebanyakan harus dilakukan menggunakan pesawat terbang. Saat itu perjalanan darat dan laut tidak efisien.
Kedua, saya dan Wiwid beda keyakinan dengan Amos. Demikian pun tidak pernah ada ketidak-nyamanan atau gesekan karenanya. Kami saling menenggang. Ketika Amos Gintings melangsungkan pernikahan dengan Chenny Lumentut di Gereja Masehi Injili Minahasa Efrata (GMIM, Kristen Protestan) Paldua; saya dan Wiwid datang menyaksikan. Sedangkan keluarga kedua mempelai berhalangan hadir.
Ketiga, kami menjadi akrab karena sama-sama orang luar Manado/Minahasa. Kami coba menyesuaikan diri dan menyiasati dengan situasi setempat.
Dalam penilaian dan perasaan saya, Amos merupakan sosok yang mudah bergaul, ramah, setia kawan, dermawan, dan siap membantu. Padahal dengan teman-teman lain Amos dikenal tidak mudah berkompromi. Ia juga pekerja keras, disiplin, dan cermat dalam penulisan maupun merancang visualisasi materi siaran yang akan dibuatnya. Kerja jurnalistik cetak yang pernah digelutinya tentu mendasari cara kerja itu.
*
Setelah pensiun Amos kerap memposting kegiatan dan pemandangan seputar Gunung Lokon Minahasa di FB. Sesekali ditampilkannya foto-foto masa lalu saat bertugas di beberapa negara Eropa.
Rupanya ia dan keluarganya punya rumah dan kebun di Tomohon. Ia memposting aktivitas kuliah lagi (bersama isterinya Chenny Lumentut), hingga diwisuda sebagai sarjana teologi. Pada saat lain memperlihatkan kehidupannya yang damai jauh dari hiruk-pikuk kota
Suatu ketika saya berkesempatan ke Manado, dan ingin menemui langsung di rumahnya. Adik ipar saya kebetulan mengajak jalan-jalan ke Tondano dan Tomohon. Tetapi hari itu Amos tidak di rumah. Ia sedang ada keperluan di kawasan Minahasa atau Bolaang Mongondow (saya tidak ingat persisnya).
*
Itulah sedikit kenangan saya tentang Amos Gintings. Selamat jalan, Bang. Hari-hari sehat, dan penuh kesibukan kerja maupun keluarga, telah berlalu. Alam keabadian telah menunggu.
Maka demikianlah. Ketika jatah umur habis maka berangkat saja, tidak ada yang perlu ditunggu dan diberati. Tentu sebaiknya dengan bekal banyak (sesuai ajaran agama masing-masing) untuk kehidupan di sana.
Mudah-mudahan kita pun tak bosan untuk selalu bersiap berangkat. Menyusul keluarga maupun teman yang lebih dahulu pergi. Ingat saja seruan berulang Atta Halillintar: Ashiaaapp. Jangan lengah, jangan kasih kendor. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 29 Juli 2021 / 19 Zulhijah 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H