Banyak cerita yang sudah penulis tuliskan. Selain fiksi dan opini, sebagian besar merupakan pengalaman nyata. Kisah yang menurut istilah Harian Kedaulatan Rakyat (KR) -- Yogyakarta "Sungguh-Sungguh Terjadi", dan dibuatkan kolom tersendiri pada halaman pertama-sudut-kanan-bawah. Tentu berita tertulis maupun foto-foto (yang dimuat pada hari yang sama di koran tersebut) bukan "tidak atau kurang sungguh-sungguh terjadi."
Dalam penulisan pengalaman penulis tersebut, rata-rata sisi gagalnya dibuang. Tidak diikutsertakan, dan disisihkan. Peristiwa bernuansa gagal memang tidak enak diceritakan, bikin malu, gampang jadi bahan tertawaan. Namun, gagal itu bagian tak terpisahkan dari suatu peristiwa kehidupan, suatu proses serta pembelajaran berharga menuju hal terbaik-ideal-harmonis.
*
Sebagai Suami. Menjadi suami nyata tidak mudah. Saat pacaran dan kemudian menikah tak terbayangkan bakal seberat itu bebannya. Tetapi kesadaran memang datang sangat terlambat. Ya, ketika usia perkawinan sudah lama.
Kegagalan apa dalam peran sebagai suami? Gagal membagi waktu antara pekerjaan kantor dengan urusan keluarga. Padahal urusan keluarga di rumah itu tak kalah banyak dengan urusan di kantor.
Sangat kebetulan kerja di kantor sebagai jurnalis seperti tak ada habisnya. Sabtu dan Ahad pun ke kantor. Maklumlah, pekerjaan penulis membuat materi siaran televisi. Penugasan ada saja, entah di dalam kota atau di luar kota. Terutama pada awal-awal kerja. Sering pergi sampai berhari-hari. Pulang dari luar daerah harus konsentrasi bikin naskah, ikut dalam proses pengeditan, hingga penayangan.Â
Akibatnya, waktu untuk membantu isteri sangat sedikit. Urusan isteri sering rangkap-rangkap, dari soal dapur (mengatur gaji supaya cukup, menyiapkan menu untuk anak-anak), rumah (cuci-jemur-seterika, kebersihan dan kerapian rumah, mendamping dan mengajari anak-anak belajar), bertetangga (urusan dengan tetangga sekeliling), hingga membesarkan anak-anak (meredakan konflik antar anak dan meladeni kebutuhan anak yang berbeda-beda).
Isteri tidak pernah mengeluh dan mampu menjalaninya dengan baik, tetapi setelah waktu lama berlalu (terlebih setelah ia tiada), timbul penyesalan mengapa penulis terlalu mementingkan pekerjaan.
*
Sebagai Ayah. Untuk urusan formal, misalnya mencari dan mendaftar sekolah, penulis mengurusi langsung tiga orang anak penulis. Tetapi di luar itu kurang, bahkan tidak. Soal seragam sekolah, kebutuhan alat-alat sekolah, uang sekolah, dan lainnya; semua diurusi isteri. Bahkan juga soal mendidik anak dalam agama: baca-tulis huruf Arab dan mengaji, praktik salat-puasa, dan pembicaraan mengenai iman-Islam dan ihsan (akhlak Islami).
Bahkan mengajak anak laki-laki (2 orang) ke masjid rasanya belum pernah sekali pun. Kesalahan awal mungkin karena pada 4 tahun pertama berkeluarga, penulis ikut pada rumah mertua (sebagai perantau). Sejak itu hampir semua urusan rumah sudah diselesaikan mertua. Jadi ketika pindah provinsi dan memiliki rumah sendiri (masih sebagai perantau) kebiasaan salah itu berlanjut.