"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.. . . . !" gumamku penuh prihatin.
Korona menjadi penyebabnya. Sosok pendidik senior itu memilik isteri dan anak-mantu berprofesi dokter. Tentu mereka sangat berhati-hati menjaga diri dari tertular korona. Namun, agaknya kesibukan Pak Guru yang aktif mengajar dan berorganisasi itu membuatnya terlena dari kemungkinan tertular. Pada umur 63 tahun, tiga tahun setelah memasuki masa pensiun, jatah umurnya habis. Bahkan resiko lain harus diterima, keluarga satu rumah positif korona dan harus diisolasi di rumah sakit.
Tiga hari di rumah sakit, adik ipar itu tak tertolong. Pukul 20.30 WIB nafasnya putus. Keesokan harinya jenazahnya dimandikan, dikafani, disalati, dan dikuburkan dengan ketentuan protokol kesehatan secara ketat. Kembali aku menitikkan air mata.
*
Di grup WA pensiunan dan alumni, berita dukacita dan berbelasungkawa hampir seminggu sekali muncul. Jeda waktunya kerap lebih cepat lagi. Aku dan isteri rajin memberi ucapan yang hampir rutin itu. Dan kini hanya sebulan kami harus mengumumkan dua berita duka.
Beberapa teman dekat menyampaikan ucapan dukacita. Aku berterimakasih atas perhatian dan doa mereka, dengan menambahi nasihat untuk diri sendiri: "Jangan benci mengingat mati", dan "Cukuplah kematian sebagai nasihat."
*
Bulan baru belum juga muncul. Persoalan klasik tak terhindarkan. Dan selalu di meja makan semua kesimpulan ihwal "dompet kosong" tergambarkan jelas. Dan entah mendapat daya ingat dari mana, isteriku suatu malam menirukan persis kata-kata yang pernah kuucapkan beberapa waktu lalu.
"Dompet boleh kosong, Bu, tapi tabungan akhirat kita makin banyak.. . . ."
Aku tercengang, dan tak mampu menanggapi. Tak peduli, isteri meneruskan dengan gaya berdeklamasi.
"Dompet dan segala isi dunia ini toh hanya sarana untuk menggapai akhirat. Kalau sedikit saja kita lalai memanfaatkan untuk amal-ibadah, maka habislah kita saat menghadapi pertanyaan kubur nanti. . . . !"