Pilpres Amerika Serikat 2020 memunculkan fenomena tak terduga. Presiden petahana bersikukuh tidak kalah. Dalam bahasa Sunda, keukeuh. Ya, bersikukuh pada pendapatnya sendiri. Bahwa ia dicurangi, proses penghitungan suara  dikorup. Sebaliknya ia mengklaim, dirinyalah yang menang. Klaim tanpa bukti itu dinilai berbagai pihak sebagai upaya mencederai demokrasi.
Entah apa yang dirasa dan dipikirkan orang, tetapi demikianlah memang watak seorang Donald Trump. Taipan real estat itu mendapatkan panggung tertinggi di negerinya, dan kesempatan demikian tampaknya dimanfaatkannya untuk mempertinggi ego.
Ia tidak mau belajar dari Hillary Clinton yang dikalahkannya dalam Pilpres 2015. Hallary meski pada awal penghitungan suara sempat unggul, akhirnya harus mengakui kekalahan. Dan pengakuan itu disampaikan begitu saja, pada kesempatan pertama. Â Sebuah sikap kenegarawanan yang terpuji meski sebelumnya sempat sangat panas suasananya dalam persaingan dan kampanye Pilpres.
*
Dampak dari sikap bersikukuh Donald Trump maka kondisi masyarakat makin tajam keterbelahannya. Para pendukung capres dari Partai Republik berhadap-hadapan dengan pendukung capres dari Partai Demokrat. Pilihan, seperti pada banyak hal lain, kerap tidak disertai dengan argumentasi yang memadai. Karena ini soal peasaan, soal selera, soal sudut pandangan, dan hal lain serupa itu.
Dalam laporan-laporan media pasca pemilihan dan Joe Biden -- Kamala Harris dinyatakan menang, mengungguli Donald Trump -- Mike Pence, timbul banyak kerumunan. Pada satu pihak kerumunan warga yang merayakan kemenangan Joe Biden. Tetapi kerumunan lain menyuarakan ketidakpuasan pelaksaan Pilpres, dan terutama  kecewa atas kekalahan Trump.
Bentuk lain dari kerumunan itu ya unjuk rasa, demo. Â Pada demo-demo memprotes tindakan rasialisme petugas keamanan, berbuntut kerusuhan dan penjarahan. Buntut Pilpres kali ini ditandai dengan peningkatan penjualan senjata api. Maklumlah, kepemilikan senjata api di sana (denganpesyaratan tertentu) memang dilegalkan. Dan keadaan ini tentu merupakan sebuah sinyal yang sangat mengkhawatirkan.
Kali ini bukan warga kulit berwarna (khususnya kulit hitam) yang berhadapan dengan petugas (baca representasi kulit putih). Sehingga sangat jelas pihak mana yang harus dihadapi, protap apa yang harus dipersiapkan. Kali ini kelompok satu warga kulit putih (pendukung Partai Republik -- Donald Trump) dengan satu warga kulit putih lain (pendukung partai Demokrat -- Joe Biden). Entah berada pada sisi mana, serta mendukung siapa, pihak petugas keamanan.
Keadaan akan makin tak terbayangkan bila Trump tidak segera menyatakan kalah, dan bahkan semakin mengompori warga untuk mendukungnya.
Kondisi ini sedikit-banyak mirip dengan akhir Pilpres 2019 negeri ini. Demo rusuh harus terjadi, korban pun berjatuhan, Jakarta mencekam. Dan sebuah antiklimaks, setelah semua usaha --termasuk perjuangan ke ranah hukum- gagal total, capres kalah "dengan jiwa besar" mengambil tawaran menjadi Menhan.
Entah bila Donald Trump pun melakukan tawar-menawar jabatan apa bakal diperolehnya jika segera menyatakan kalah. Pastilah itu bukan tradisi berdemokrasi mereka. Tetapi peristiwa ganjil di sini tempo hari pun terasa aneh bagi negara demokratis mana pun.Â