Sudah seratus puisi dendam kutulisi dinding batu
yang tampak hanya kamu, satu kata tak usai
serupa gunjingan, tak nyaman di gendang telinga
dan kita segera terlena, lama termangu
Makin ke dalam gua, kita tinggalkan remah remang
berkas sinar memantul ke sudut dan lekuk
pada setiap cabang lubang menuju entah ke mana
mungkin ke ceruk terdalam sanubariku
Sudah seratus puisi kulafalkan ke dalam eja
lalu rapi kubungkus untuk bekal menyiasati gulita
di bawah air mengenang, juga mengalir, dingin
dan kata-kata terlempar saja ke setiap muara
Tentu kamu bukan puisi sebenarnya, sebab tak nyata
pilihan kata selalu kumuntahkan, dan leleran liur
mengukir tebal-tipis huruf kuno tak terbaca
namun, tak henti juga kutulis segumpalan rasa.
Sampai kusadari, sesuatu tersesat dalam padam
dalam gua menukik, ekspresi dendam retak tercabik
mungkin kamu tersenyum di ujung gua, menunggu
dendam berganti rindu, serak serumu, menyeru batu.
Sekemirung, 11 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H