Kemarin malam hanya panas, paginya makin panas bahkan ditambahi gatal-gatal. Dan tadi malam penderitaannya dirasa telah sampai puncak: ada bagian tubuhnya yang bengkak.
Tentu saja Rusmala bingung. Tidak tahu ia apa yang harus dilakukan. Ke dokter untuk periksa jelas tidak mungkin. Uang tidak punya. Kartu sehat pun tiada. Satu-satunya pilihan, itupun setelah dipikir lama, dan waktu menunjuk jelang tengah malam. Ada niatnya untuk datang ke tukang urut. Ya, itu solusi terbaik. Murah meriah, dan hasilnya sangat memadai. Lalu siapa lagi si tukang urut kalau bukan Kang Sabrut.
Tapi ia sempat ragu-ragu. Sambil menahan sakit dan rintih, ia datangi emaknya. Mak Nangsih sedang mempersiapkan dagangan untuk besok pagi ke pasar. Ia berjualan kain batik. Setiap hari ia ke pasar. Saking asyik dengan pekerjaan itu ia sampai lupa memperhatikan anak semata wayang yang sudah makin dewasa.
"Badanku terasa sakit semua, Mak. Ada bagian yang bengkak pula. . . . . !"
"Kamu terjatuh, atau terbentur sesuatu, Rus?"
 "Iya, Mak. Benda tumpul. . . . !"
"Hahhh? Maksudmu?"
Rusmala justru tergelak oleh kekhawatiran emaknya itu. Pasti saja setiap orang tua yang punya anak gadis kerap terkejut-kejut. Terlebih bila mengetahui anak gadis mereka yang mendadak bengkak.
"Tapi kamu bukan bengkak seperti gadis tetangga itu, 'kan? Gara-gara terkena benda tumpul. Hancur hati emak kalau hal itu yang terjadi. Kacau, kalap jadinya emak nanti. . . . . . Â !" ucap Mak Nangsih dengan nada makin tinggi, makin dalam memperlihatkan kegusaran.
Rusmala meneruskan tertawa. Sampai kemudian emaknya membungkam dengan kedua telapak tangannya.
"Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan seperti orang gila begitu," ancam Mak Nangsih dengan nada geram, "Jangan coba-coba mempermainkan hati emak. Kalau jantung emak tiba-tiba kumat dan nyawa emak melayang maka tidak ada lagi tertawa yang dapat kamu perbuat. . !"