"Lima. . . "
"Termasuk aku. . . .hahaha. Kalau saja kamu dulu menerima lamaranku hidupmu tidak sesulit ini. Tiap bulan aku punya penghasilan dari sewa rumah dan hasil kebun. Tinggal ongkang-ongkang di rumah."
Sarmi tersenyum kecut. Siapa juga yang mau sama lelaki tua yang tampak jarang mandi dan hobinya memelihara perkutut itu. Tetapi Sarmi mencari alasan lain.
"Dulu 'kan masih ada Mak Wo. Mana mau ia dimadu. Saat itu tiba-tiba Kang Jimun melamar. Ia muda, rapi, ganteng, dan perlente. Seperti orang kaya. . . .!"
"Tidak tahunya buruh bangunan. Nasib, nasib. . . . Â !"
Sarmi tahu kapan harus berhenti bicara. Cepat-cepat dengan berbagai dalih ia pamit pada Pak Wo. Ia bergegas melewati beberapa rumah milik Pak Wo yang disewakan, menyeberangi beberapa petak kebun. Di ujung belakang dekat sungai, ia sampai di rumahnya. Rumah sendiri, tetapi di atas tanah orang lain.Â
Ternyata benar, Jimun suami Sarmi sudah menunggu. Wajahnya tampak kaku, gelap. Tak seulas senyum pun d[perlihatkan. Sarmi merasa ada yang salah. Hanya beberapa puluh menit ia terlambat. Tapi sifat cemburuan Jimun sudah meluap.
"Mencari utangan tidak segampang yang dibayangkan, Kang. Â Apalagi utang sebelumnya belum lunas. Bukannya membayar utang, aku harus tambah utang. Agak lama membujuk Bu Rukmi untuk mengabulkan permintaanku.. . . .!"
"Tapi lama sekali. Perutku sudah lapar."
Sarmi tidak segera menjawab. Ia segera mengambil beberapa takaran dari tiga kilo beras hasil utangan dari Bu Rukmi. Dicuci, dan segara ditanak. Ada beberapa potong ikan asin. Nanti dibakar saja. Tadi ia sempat memetik beberapa butir lombok, juga mengambil daun singkong dan papaya, di kebun orang. Nanti direbus sebentar. Hari itu --seperti setiap kali- makan siang seadanya.Â
(Bersambung) ***