Seramah apapun aku ini
kuakui terus terang, takut aku menyapamu
padahal di jalan itu setiap orang kulempari senyum
setiap seseorang riang kuajak bercakap
tapi kini aku khawatir itu bukan kamu.
Ya, hanya padamu aku menyapa
dan kukira bukan hanya aku
melainkan juga banyak perjaka
yang muda, apalagi yang tua
seperti aku. Padahal aku suka berbagi cerita
jika mungkin tentang apa saja
atau kata-kata kosong sekadar ihwal cuaca
atau kegilaan para youtuber
dalam mengejar konten agar viral.
Sungguh aku ingin menyapamu
dengan sapa paling manis, tak kalah
manis dari perjaka lain
tak kalah konyol dari lelaki lain
tapi aku tak sanggup, khawatir itu bukan kamu.
Ratusan kali kita berpapasan
sebanyak itu pula aku pilih menunduk
dan kulirik kamu membuang muka
bisa jadi itu hanya perasaanku saja
dugaanku, kamu benci setiap perjaka.
Dan perempuan cantik itu lewat sia-sia
Tak ada tegur-sapa, tak juga
senyum manis. Ada memang sisa-sisa
pesona kecantikan itu: wajah, kulit, rambut
juga postur tubuh yang masih terawat.
Bayanganku kala kamu lima puluh tahun lalu
betapa banyak lelaki rela mempertaruhkan
apa saja, untuk mengejar cintamu.
Tapi waktu terasa cepat sekali berlalu
Nyatanya kamu keras hati
untuk tetap melajang
hingga usia senja menjelang
dan kamu berubah menjadi seburuk sekarang.
Itu mengapa takut aku untuk menyapamu
mungkin itu bukan lagi kamu
atau mungkin, nasib kita sama
aku pun tak kalah reyot dari penampilanmu.
Hingga suatu pagi, kupasang senyum dari jauh
dan kamu balas senyum, disertai tanya parau
"Aku sudah menunggumu begitu lama.
Menunggu kapan kamu melamarku. . . .!"
Aku terjingkat, tak mampu berkata apa-apa
di jalan itu tak ingin lagi aku seramah dulu
untuk bertukar sapa.
Sekemirung, 3 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H