Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mbah Lindu Berpulang, Resep Gudeg Diteruskan Anaknya

13 Juli 2020   22:48 Diperbarui: 13 Juli 2020   22:50 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mbah lindu melayani pembeli tahun 2016 - regional.kompas.com

Mbah Lindu mulai berjualan gudeg (menurut penuturannya) sejak sebelum Jepang datang. Awalnya ia berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lain sebelum kemudian menetap di trotoar jalan Sosrowijayan -- Yogya. Beberapa tahun terakhir saja, karena usia lanjut, penjualan gudegnya digantikan oleh salah satu anaknya, Ratiyah. Lokasinya berjualan termasuk stategis, yaitu di belakang Jalan Malioboro (sebelah barat), yaitu pusat kota Yogya.

Dari rumahnya di Klebengan, Sleman, ia berjalan kaki setiap hari ke tempat jualannya itu. Lalu menggunakan angkutan yang ada. dan bertgahan sekian lama untuk melayani pembeli danlangganannya.

Demi mempertahankan cita-rasa asli, Mbah Lindu masih meracik bumbu dan mengolah gudeg dengan tangannya sendiri. Bahkan masih melayani pembeli. Tetapi beberapa tahun terakhir kondisinya semakin tidak memungkinkan. 

Ia memasak gudeg menggunakan kayu bakar. Cita rasa berbeda dihasilkan dari cara pembakaran itu. Terlebih juga cara memasak, yaitu membiarkan bara terus menyala sepanjang malam agar gudeg memiliki warna, rasa, aroma, dan penampakan seperti itu. 

Di tempat-tempat pelajar/mahasiswa kost maka setiap pagi pedagang nasi gudeg akan dirubung pembeli. Nasi panas disertai gudeg, lengkap dengan ayam atau telur bacem, areh, sambel goreng krecek, tahu/tempe, dan lainnya menjadi suguhan  nikmat dan khas.

Orang-orang yang pernah bermukim (atau berwisata) di Yogya (khususnya di perkampungan atau di hotel/penginapan kecil di pedalaman mudah mendapati suasana seperti itu. Dan penjual gudeg rata-rata dari pinggiran, atau luar kota. 

Ya, karena di sana (waktu itu) lebih mudah mendapatkan kayu bakar, buah gori/nangka muda, ayam dan telur kampung, dan bahan lain. l;ebih leluasa pula kaya memasakknya, sebab rata-rata rumah pinggiran/pedesaan besar. Tidak (terlalu) mengganggu aktivitas maupun kenyamanan tetangga.   

*

Kini gudeg ada di berbagai kota. Tidak hanya resep khas Yogya, tetapi pengembangannya, dengan aneka varian cara memasak, bumbu, bahan, penyajian, serta harga. Gudeg bukan hanya makanan kaki-lima (seperti penjualan pada awal-mulanya) melain sudah menjadi suguhan restoran.

Selain restoran sejumlah penjual gudeg mempertahankan kekhasan lama, mulai dari tempat berjualan, waktu berjualan (ada yang berjualan dari tengah malam hingga subuh/pagi, ada yang dari subuh hingga pukul 10 pagi). Untuk menu sarapan,  selain nasi disediakan juga bubur.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun