Pak Haji Marlan termangu. Beberapa saat bekerut kening. Lalu senyum khasnya yang lebar memperlihatkan deretan gigi putih, tanpa ada yang tanggal satu gigi pun.
"Apakah ada hubungannya dengan hal itu, Pak Haji?" ulangku saat Pak Haji belum juga menjawab.
"Yaa, Pak Murowi. Saya dan segenap pengurus masjid ini telah melakukan banyak persiapan untuk satu keputusan yang sulit. Saya tidak tahu perasaan apa yang bakal berkecamuk di dada bapak. Namun saya dan pengurus DKM serta para jamaah sangat berterimakasih. Perjuangan dan kegigihan bapak melayani jamaah dan merawat masjid ini sangat besar. Namun, teerasa waktu berlalu cepat. . . .!"
Pak Haji Marlan mengela nafas panjang, melihat ke luar halaman masjid melalui kaca lebar.
"Bapak sudah sakit-sakitan, tenaga pun makin berkurang. Kami sangat mengerti bila bapak mau tetap bertahan. Begitupun bertambahnya usia tidak mungkin ditutupi. Bukan kami melupakan semua jasa bapak. . . . . !"
"Ya, saya mengerti, Pak Haji. . . . !"
"Putusan ini justru karena alasan sebaliknya, kami sangat menghormati dan menyayangi bapak. Jadi itulah alasannya kami mencari pengganti bapak sebagai marbot, dan bapak dapat kembali ke kampung halaman. Pulang ke rumah mungil yang kami sediakan. Kembali ke masjid kecil yang sudah kami renovasi di kampung bapak."
Aku mengangguk, tertunduk, dan tiba-tiba seluruh tubuh ini terasa lemas. (Bersambung) ***
Sekemirung, 18 Feb. 2016 -- 9 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H