"Bertanya?"
"Ya. Satu pertanyaan. Mudah-mudahan jawab yang Tuan miliki memuaskan rasa penasaran saya. . . .!"
Ia tak meneruskan bicara sebab saya menoleh ke tempat lain. Berpikir keras untuk tidak diganggu, dan pergi. Saya khawatir perempuan cari-cari masalah, lalu memeras atau menipu. Atau, paling parah dengan berbagai dalih minta saya menikahinya.
Perempuan itu bergeser hingga kembali tepat di depan saya.
"Siapa nama Tuan?"
"Jalinus. Tuan Jalinus. Cepatlah ajukan pertanyaanmu, Nona Ana. . .!"
Ia tidak menjawab, tetapi menarik lengan saya. Lebih tepatnya menyeret agar mengikuti langkahnya. Saya tidak sempat bicara lagi. Kami menyusuri trotoar pusat kota. Berjalan beberapa menit. Lalu melewati pintu kaca, dan masuk ke sebuah restoran Korea.
"Halal 'kan?" tanya saya.
Ia berhenti melangkah dan menjelaskan. "Halal. Ada rekomendari dari majelis ulama. Saya langganan restoran ini. Masakannya enak, suasananya sejuk dan nyaman. Kita bica berbincang panjang di sini. Saya yang bayar, jangan khawatir. Saya hanya ingin Tuan Jalinus menjawab. Setelah itu kita berpisah, dan mungkin tidak akan bertemu lagi."
Saya mengangguk. Dan tersenyum saja. Ia tampak puas sebab melihat saya tidak terburu-buru ingin pergi.
Kami mendapatkan meja di dekat jendela. Pamandangan ke taman hijau dan beberapa jenis kembang ada di sana. Sejuk memang suasananya. Aroma masakan meningkahi harum parfum. Dan tiba-tiba saya menyesal telah melupakan sesuatu. Ya, gigi palsu saya tertinggal di rumah. Saya berpikir untuk pesan makanan tidak perlu berat-berat mengunyah.