Satu nyawa cukup untuk menggerakan sebuah kekacauan dan kerusuhan. Bukan  hanya di sini, tetapi juga di sebuah negara bagian di Amerika Serikat. Hanya, dan tentu bukan hanya sebenarnya. Satu nyawa pun betapa berharga, yaitu nilai kemanusiaannya.
Korbannya bernama George Floyd. Ia pria kulit hitam berusia 46 tahun yang semula pengemudi truk, dan belakangan menjadi sekuriti sebuah restoran. Pelakunya empat orang polisi. Sebab cara kematian lelaki yang besar -yang diakui adiknya sebagai berhati lembut dan tidak pernah penyakiti orang lain itu- sangat menyesakkan dada.
Kematiannya karena dijatuhkan polisi dalam rangka penangkapan atas tuduhan suatu tindak kejahatan menggunakan uang palsu. Di diborgol dan dijatuhkan ke aspal. Bukannya badan yang ditekan oleh salah satu dari empat polisi yang bertugas, melainkan leher, ditekan menggunakan lutut. George Floyd tidak dapat bernafas, Â lemas, dan akhirnya tewas.
Video yang kemudian mengenai penangkapan dan terlebih cara penanganan yang brutal polisi itulah pemicu rasa marah, geram, dan berujung pada pembakaran dan penjarahan toko-toko oleh kerumunan massa yang semula sekadar ingin unjuk perasaan prihatin dan memprotes.
Sangat kebetulan korban tewas berkulit hitam. Maka luka lama pun kembali tertoreh, urusan sakit dan penyakit terkait rasisme tak kunjung usai untuk dapat disembuhkan. Dan kini kembali terungkit.
Seperti dilansir AFP, Kamis (28/5/2020) George ditangkap pada Senin (25/5) oleh polisi kota Minneapolis, AS. George FLoyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai $ 20.
Tidak sulit menggambarkan suasana kegawatan yang kemudian berkembang menjadi peristiwa yang tidak seorang pun warga negara menghendaki. Pandemi Covid-19 dengan banyak korban sempat menimbulkan memang kemarahan, tetapi kebrutalan polisi di Minneapolis itu memunculkan sikap dan kemarahan yang cepat sekali memuncak.
Warga turun ke jalan dan bentrok dengan polisi. Mereka menjarah toko-toko dan membakarnya. Polisi bereaksi dengan menembakkan gas air mata dan peluru karet.
Menyalahkan polisi tentu tindakan yang paling gampang. Setidaknya perlakuan yang berlebihan, yang seperti adegan dalam film laga itu, mengesankan si pelaku sebagai tokoh jagoan. Terlebih peristiwa itu divideokan dan diviralkan.
Boleh jadi hal yang sama telah dilakukan berulang dan berulang. Sebuah sumber menyebutkan bahwa si pelaku telah 18 kali mendapat laporan pengaduan atas sepak terjangnya dalam bertugas. Polisi itu diidentifikasi bernama Derek Chauvin (44), dan 19 tahun mengabdi pada Kepolisian setempat. Dan baru kali ini ia mendapatkan sanksi setimpal. Pelaku dan 3 rekan personel Kepolisian Minneapolis di Amerika Serikat (AS) dipecat.
Sementara tuntutan lebih besar dari itu, yaitu dihukum mati. Betapapun urusan rasialisme bukan perkara gampang di sana. Bila kelak kerusuhan makin luas, bukan tak mungkin hukuman lebih berat bakal diterimanya.Â