Rasa malu pasti dimiliki setiap orang. Orang yang tidak malu juga ada. Mereka dapat diketegorikan dari kalangan kurang berilmu, kurang beradab, bahkan tidak berperasaan. Malu dapat disebabkan terbuka aibnya, karena telah berbuat salah-curang-tidak baik dan diketahui orang, atau memang terlalu pemalu.
Dalam kaitan dengan tulis-menulis, berbagai rasa malu dapat timbul. Malu karena salah logika berpikir, salah referensi maupun kesimpulan, dan seterusnya. Namun, bisa juga malu karena  "salah yang sepele tapi bukan hal tidak penting": typo, penggunaan kata tidak baku, salah kutip, dan banyak lagi. Bahkan malu karena terbuka kedoknya telah melakukan plagiat.
Hal lain-lain yang membuat malu menjadi hal biasa saja. Setiap penulis, terlebih penulis pemula, melakukannya. Tetapi untuk urusan plagiat bukan hanya malu dan malu-maluin tetapi juga salah dan bisa membesar menjadi perkara kriminal.Â
Oleh karena itu jangan coba-coba melakukannya. Lebih baik menulis sendiri apapun hasilnyadan ditolak pemuatannya oleh media, daripada melakukan plagiat. Apalagi saat ini, saat orang dengan internet mudah menelusuri jejak digital untuk menangkap basah praktik plagiarisme.
*
Menulis itu gampang, menulis itu sukar. Debat panjang dapat dilakukan. Tetapi untuk dapat menjadi penulis tidak selesai dengan berdebat soal gampang atau sukarnya. Tidak rampung dengan memahami teknik dan gaya menulis. Juga mendalami kebahasaan, perbendaharaan kata, mana kata baku dan bukan, dan bagaimana tata kalimat yang baik.
Salah satu cara terbaik untuk dapat menjadi penulis, ya mulai saja menulis, menulis, dan terus menulis. Pada akhirnya semua pelajaran tentang menulis bermuara pada lakukan, lakukan, dan lakukan. Jangan tunggu waktu, jangan malas memulai, dan jangan cari-cari alasan untuk merasa sulit-repot-tidak mudah dan apalagi pesimistis memastikan hasilnya buruk.
Maka lakukan saja, mulailah menulis, tapi dengan satu sarat berat, yaitu harus berani malu. Artinya, menulis sambil belajar, sambil membenahi kesalahan sana-sini, dan tidak takut untuk malu. Dipermalukan oleh sesama penulis (dengan teguran halus dan di ruang tertutup) maupun oleh pembaca menjadi pembelajaran terbaik. Â
Berbeda keadaannya dengan dulu saat belum ada internet dan media sosial. Â Dulu orang menulis di koran atau majalah. Dalam proses belajar malah hanya di majalah dinding sekolah, lalu meningkat di buletin kampus. Jangan coba-coba menulis langsung ke koran, bisa malu berat kalau ditolak berulang-ulang.
Sebab itu menandai kualitas tulisan kita belum memadai, atau temanya tidak menarik (tidak sesuai dengan misi koran/majalah yang besangkautan). Tulian yang diterima redaktur suatu media akan mengoreksi bila ada kesalahan tulis atau logika kecil yang mungkin masih ada di dalamnya.
Media yang menerima tulisan kurang memadai itu ada yang mengembalikan berkas tulisan, ada yang tidak. Biaya perangko menjadi penyebab. Â Jadia waktu itu harap-rahap cemas setiap penulis ada dua, satu menerima nomor bukti pemuatan yang diikuti dengan wesel kiriman honornya: atau menerima pengembalian naskah yang ditolak.