Cerita sebelumnya: Pak Rus bangga menjadi kakek setelah kelahiranTio. Lelah penantian unuk mendapatkan status kakek sejati terobati dengan keberadaan bayi mungil itu. Maka tak segan ia bercanda dengan Tio, sampai pun mengeluarkan kemampuannya bermonolog . . .
*
Tentu saja obrolan itu serupa dua orang dewasa yang saling mengejek. Sebenarnya Kakek Rus tidak terlalu akrab seluk-beluk dunia bayi. Ia sudah empat puluh tahun lebih tidak terkait dunia bayi. Sejak anak tunggal lahir dan tumbuh, dan kemudian menjadi gadis remaja, lalu menikah.
Anak perempuannya itu pun tidak pernah begitu dekat dengannya. Karena waktu itu ia masih berdinas dan sering keluar kota sampai berhari-hari.
Itu sebabnya ketika mendapatkan seorang cucu bagi Kakek Rus merasa seperi di awang-awang, serupa menerima hadiah istimewa.
Bayi itu pun dijadikannya kawan bercanda. Digendong ke mana-mana. Diajak ngobrol, diganggu, dibawa ke halaman, diajak tebak-tebakan, lalu dibawa ke teras main petak umpet, kemudian masuk rumah lagi. Begitu seterusnya. Mondar-mandir dalam usaha hendak menidurkan Tio.
Namun usaha Kakek Rus sering gagal. Si bayi tetap saja menunjukkan wajah tidak bersalah. Sesekali tersenyum, lalu ngoceh kata-kata tak jelas. Ya, namanya juga bayi, belum sepatah kata pun ada di ujung lidahnya.
Tapi bagi si kakek semua ucapan Tio terasa baik-baik saja. Seperti sudah sehati. Kakek Rus ngobrol tentang apa, dan bayi ngobrol yang lain. Selanjutnya keduanya tertawa-tawa kegirangan. Tidak nyambung sama sekali. Tapi tidak apa-apa. Kakek Rus memaklumi, dan pasti saja Tio pun maklum pula adanya. . . . .!
Mereka tidak sedang saling menyakiti, sebaliknya saling dukung untuk menemukan kebahagiaan di dalam hati.
***
Perilaku si kakek tak luput dari perhatian anak dan mantu. Dari kejauhan Marlita -anak Pak Rus- dan si mantu Grego Jalidin tersenyum-senyum senang.