Lagu lirih itu mengambang pengantar rehat
bersama mendung di atas kota, dingin
mengancam. Liriknya ke mana-mana.
Malam serasa benar mengusap kulit
Sepi teraduk dalam secangkir kopi
sedang di sekitar terbujur para pengungsi.
Bencana menyisakan sesal, selain setetes air
di pelupuk, dan perut
yang beku menahan lapar.
Hujan rintik semakin ramai. Seramai debat di tv
mulut saling berbusa
pewawancara tak mau melerai.
Lewat beberapa menit, air bisa saja meninggi
hujan di hulu belum selesai, longsor, dan gempa
menjadi satu dalam raga.
Hingga tulang kepala. Retak, dan jaringan otak
leleh, bercampur banjir. Bencana meluluh kota
menggerus tebing dan fondasi hati.
Hari tak juga menjadi pagi, siapa mengigau
yang lain mimpi buruk. Seorang perempuan tua terbatuk
lalu terjaga hingga subuh mengetuk daun telinga.Â
Sekemirung, 28 Feb 2019 -- 27 Januari 2020
Tengok juga tulisan sebelumnya:
tragis-pesta-miras-oplosan-di-tasikmalaya
kerajaan-fiktif-modus-penipuan-dan-hikmah