Mudik itu mahal, melelahkan, dan bahkan menjengkelkan. Jalan tol menjadi primadona, tetapi rombongan besar terasa diistimewakan. Sebab perjalanan mudik Lebaran dimaknai dari Barat ke Timur, sedangkan balik Lebaran ke arah sebaliknya.
Mahal, kalau lewat jalan tol. Dulu jalan tol belum tersambung menjadi trans Jawa, sehingga tarifnya pun tidak seberapa terasa. Belakangan tarif tol bersaing ketat malahnya dengan biaya untuk bahan bakar. Salah satu cara menyiasatinya dengan mengisi penumpang lebih banyak.
Demikian pun menggunakan jalan tol menjadi pilihan terbaik. Kelancaran dan jarak tempuh menjadi relatif lebih pendek. Kondisi jalan lurus dan mulus memanjakan para pengemudi. Namun, konsentrasi harus tetap dijaga. Kalau tidak bisa menyeruduk kendaraan yang di depan.
Kalau mau istirahat di tengah perjalanan pun disediakan tempat istirahat yang lengkap dan memadai yaitu kamar mandi/WC, masjid/mushola, pom bensin, restoran aneka sajian, dan tempat parkir yang luas.
*
Nah, tetapi kenyamanan itu sedikiti berkurang manakala hari libur dan hari besar. Lebaran tentu saja suasananya jauh berbeda: waspada dan sabar tidak boleh dilepaskan. Jauhi sikap berebut untuk menuju ke rest area, tidak mau antri, berebut jalur, berhenti di bahu jalan tol.
Rombongan besar pemudik dan arus balik tahun ini mendapatkan keistimewaan berubah jalur one way yang membuat jalan tol lancar. Tetapi pada titik-titik tertentu (jelang masuk rest areadan gerbang tol) tetap saja terjadi antrian panjang, berdesakan, dan lama, khas Lebaran.
Dengan berbagai kesulitan dan harga yang harus dibayar berapapun, para pemudik tetap nekat pulang kampung juga. Pasti ada sesuatu yang dikejar, dan nilainya jauh lebih mahal.Â
Mungkin bertemu (atau ke makam) para orangtua, bersilaturahim dengan keluarga besar dan kenalan di lampung halaman, mengenang-menapak tilas masa lalu, reuni dengan teman-temn sekolah/kuliah, dan banyak lagi.
*