Ramadan ini godaan hati bagi setiap penulis besar sekali. Â Ya, bagaimana bisa tenang, khusuk, dan istikomah menjalani puasa bila untuk menulis perlu banyak amunisi per-kepo-an. Harus ditimbulkan dalam diri rasa penasaran, ingin tahu banyak hal.
Dari sana baru bisa memilh dan memilah ide mana yang menarik untuk dikembangkan. Gagasan mana yang di-pending dulu. Ide mana yang diabaikan saja. Dan semua itu melibatkan hati, perasaan, pikiran, dan tak kurang-kurang juga emosi.
Kalau hal-hal seperti itu diperhadapkan dengan bulan Ramadan, bulan yang mengharuskan setiap muslim harus fokus pada kegiatan ibadah dan amaliah, maka terasa ada sesuatu yang tidak sejalan. Dengan kata lain si hati dalam konteks pekerjaan atau sekadar hobi menulis harus lebih ketat diawasi, dikendalikan, dikawal, dan bahkan dipegang erat-erat agar tidak keluar jalur.
Persoalan lain yang tak kalah genting, yang dihadapi adalah dinamika media sosial. Tanpa harus ada Pilpres dan Pileg pun suasana medsos ssetiap hari tak pernah sepi dari adu, lomba, rivalitas, pamer, dan bahkan 'perang'. Dari sana muncul aneka viral. Akiibat lebih jauh ada yang harus temu darat dan main tikam, ada yang kopi darat kemudian terlibat perselingkuhan, ada pula yang terlalu bersemangat dalam mengumbar kata-kata sehingga berurusan dengan penegak hakum.
Mengelola hati pagi penulis, pada bulan Ramadan, dalam menghadapi dinamika bermedia sosial, itulah persoalannya.Â
*
Berbicara soal hati memang harus hati-hati. Ini tema menyangkut soal krusial, sesuatu yang paling dalam pada diri manusia. Beberapa hal tentang hati karenanya perlu dibeberkan agak lebih luas, berikut ini:
Orang boleh saja tampak sangat gagah dan mentereng, atau sebaliknya seseorang berpenampilan teramat sederhana. Namun, dari hatinya tak mudah diduga. Hanya orang itu dan Tuhan yang tahu persis. Dengan melihat keyakinan maupun amal perbuatannya dapat meneropong isi hati seseorang.
Benar agama mengajarkan setiap orang untuk berkata baik, berbuat baik. dan bertingkah laku baik. Kalau sepintas saja kita bertemu seseorang pasti sulit untuk menilai hatinya. Tapi sekarang ini --dengan canggihnya ilmu dan teknologi- seseorang dapat dengan mudah dilihat jejak digitalnya. Tganpa perlu bertatap muka, tanpa haraus menyewa ditektif, terkuat sudah semua masa lalu seseorang melalui medsos yang diikutinya. Seseorang kemudian dapat menyimpulkan. Bila dari sononya seseorang sudah tampak banyak kebaikannya (akhlak, agama, perilaku), maka  niatnya pun Insya Allah baik. Dengan nit baik, apa segala kebaikan yang dilakukan bernilai pahala.
Terkait dengan tebal-tipisnya keimanan, karakter khas seseorang terpancar dari sana. Hari ini seorang kawan dapat bersikap sangat bersahabat dan penuh pengertian, tetapi beberapa hari kemudian basa saja segalanya berubah karen perubahan keimanannya.
*