Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Catur, Pakdhe Joko, dan Tugas Ronda

1 Mei 2019   14:31 Diperbarui: 1 Mei 2019   14:46 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir enam bulan ini Kang Murbani dan Wak Ja'far tak bertemu. Mereka sibuk dengan pekerjaan di kota yang berbeda, dan harus tinggal di sana sampai pekerjaan selesai. Itu sebabnya mereka merindukan pertemuan, tentu dengan papan catur terhampar di hadapan mereka. Pagi itu mereka bertemu di gardu ronda 'klub banting kartu' di ujung jalan Mlandingan, Desa Kali Buthek.

"Kukira Pakdhe Joko bakal manggung lagi. . . . !" ucap Kang Murbani  setelah beberapa sedotan kretek dilanjutkan dengan semburan asap putih dari bibirnya.

"Ya, bisa jadi. Tapi kubu sebelah sudah terlanjur melakukan deklarasi, mengumumkan kemenangannya. Berulang-ulang pula. Kukira justru mantan tentara itu yang jadi presiden. . . .!" komentar Wak Ja'far dengan suara datar.

"Kenapa bisa begitu?"

Wak Ja'far sontak tertawa. "Kasihan dia. Sudah berulang-ulang kalah, mestinya sekali ini saja bikinlah senang hatinya. Jangan sampai nanti malah stress berat. Orang-orang bilang saat ini ia terkena delusi."

Kang Murbani berdiri dan mengambil papan catur yang diletakkan di langit-langit gardu ronda.  "Ya, memang kasihan juga. Mana utangnya numpuk, umur makin uzur, kesehatan sering terganggu. Jadi itu mungkin alasannya ia nekat mendeklarasikan diri sendiri. Pakai hitungan quick count dan real count sendiri, mengklaim menang sendiri, lalu mendeklarasikan diri sendiri sebagai presiden. Lengkap sudah sifat yang melekat pada dirinya: merasa benar sendiri, arogan, dan merasa paling benar sendiri. . . .!"

"Delusi. . . . !"

"Ada yang menyebut megalomania. Entah apa pula arti kedua istilah itu.. . . .!"

Papan catur dibuka, lalu keduanya memasang buah-buah catur sesuai posisinya. Obrolan soal Pakdhe Joko manggung lagi, dan Capres sebalah dilanda delusi, hanya pembukaan yang tak penting bagi mereka berdua. Bermain catur jauh lebih penting, keduanya bukanlah pemain professional, pemain yang berlajar teknik bermain catur dengan baik lalu mengikuti lomba-lomba resmi. Catur hanya hobi, tak penting pula menang atau kalah, yang penting dapat tertawa sepanjang permainan.

Soal pilihan presidennya siapa, itu urusan nanti saja. Nanti kalau KPU Pusat sudah mengumumkan hasil resminya. Jangan main presiden-presidenan, itu melanggar hukum, dan bahkan dapat disebut makar.

Kang Murbani dan Wak Ja'far akur soal itu. Soal lain-lain mereka mudah saling mengalah, tapi kalau soal siapa yang menang dan kalah dalam permainan catur tidak ada kompromi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun