Jangan hujan besar menjadi banjir
dan banjir meluap kemanapun
menenggelamkan perkampungan dan warganya.
Kami butuh embung
saratus atau seribu pun tak apa
untuk penampung hujan yang datang.
Kami butuh seribu sumber air
untuk membasuh wajah, untuk minum
dan melunakkan hati
yang terpanggangkemarau.
Sedang sumur jauh di kedalaman
tak lagi menjanjikan setetes pun.
Kini aku teronggok di sini
bersama ribuan lelaki lelah
pada aliran sungai yang menggelegak
memuntahkan amarah langit
mendung memadat, petir melontar
jutaan kilat dengan arus listrik
untuk melecut si bebal, hingga tubuh mengeras
menjadi serupa batu
yang tak hendak retak. Â
Jadi percayalah, kami setia
menunggu hujan, hingga petang
bila pun kami tertidur
dan dihujani mimpi basah
mata tetap berair
keringat tetap mengucur
kemarau sudah terlalu jauh berangkat
melintasi padang dan  bukit-bukit
hingga ke ujung cakrawala.
Jadi tolong perhatikan, kami butuh embung
kami butuh seribu mata air
namun bumi makin kerontang
menggiring perang bekecamuk
beradu senjata pemusnah massal
memperdengarkan kegaduhan
mereka yang kehilangan kemanusiaan.
Di sudut sepi, seorang nenek tua termangu
bergeming, menunggu hujan
menderas, untuk ribuan anak-anaknya
yang kehausan ditinggal ibu-bapak mereka
yang ditenggelamkan banjir, longsor
dan gempa bumi setiap hari.
Cigadung Bdg., 3 Sept -- 01 Des 2018
Simak tulisan sebelumnya:Â
puisi-biar-kutunggu-di-tepi-hari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H