Para lelaki berlagak jagoan dalam penenggak kopi
berbusa bualnya, nyaring pula, hingga lupa pulang
sampai pagi. Namun aku suka gaya mereka
serupa pejantan sejati di depan para barista
meski --tolong jangan berisik- tak mampu bangun lagi.
"Camkan ini. Kopi dan politik kita betul-betul satu rasa
pahit tapi bikin suka, bikin lemas. Lihat, sesekali karenanya
mereka brutal dibakar emosi untuk berkelahi."
Hitam kopi tak lain rayuan malam, hasutan kejam
mampu menerabas garis. Sensasi sebar aroma, menyapa kematian.
Ia singgah dari rumah ke rumah. Pada keramaian pasar.
pada kerumunan pendemo, juga padatnya lalu-lintas,
Dan harus berakhir di kafe kopi,
saat semua lelaki tumpah, berlompatan, dalam jual-beli mimpi.
"Normal saja para lelaki berulah, berebut predikat.
Itu harta terakhir, cerita getir. Mungkin isteri tua mengusir.
Padahal isteri muda mendua, kembali pada pacar lama."
Kita setia dan sepakat, berkawan dengan lembar pesona
lekat memeluk kopi, tak ragu mencandai jelaga nasib.
Jalanan terjal jelang maghrib. Cerita silam membatu
maka biar saja tubuh ini tergeletak di sini. Aku tak peduli.
"Tataplah sesekali dunia kabut, tataplah, untuk memastikan
putih dan terang, ada di sebaliknya. Di luar kesadaran.
Ke sana kita mestinya mengayun langkah dengan gagah."
Kuingatkan lagi, jangan kenyangkan perut dengan jerat ilusi.
Kini semua kafe kopi kehabisan cara untuk berkata jujur.
Cermati. Kutunggu kalian di sisi brankar ini. Mungkin hanya mati
nasihat terakhir, mengantar si penyuka kopi, pulang pagi.
Bandung, 30 Juli -- 15 Sept 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H