Aku dan kamu, seperti dua kutu buku.
yang digenangi lipatan-lipatan peristiwa
selalu terbaca hakikat di sebaliknya
yaitu syukur dan ikhlas. Kemudian kita bicara apa saja
juga tentang rumah yang kumau,
bahkan rumah dalam mimpimu.
"Selalu aku gelisah,
setiap kali berharap, segera pulang.
Kembali ke rumah mungil di ujung desa," ujarmu bimbang.
Ada senyum di matamu, dan kerinduan
yang dalam. Tanpa mempedulikanku,
perasaanku, yang kurang nyaman.
"Waktu melarat dulu, mimpimu selalu
rumah besar. Lengkap dengan segala perabotannya,"
jawabku sekenanya. Rumah megah, bukankah itu
selalu berarti masa depan.
Masa kemenangan tak terbayangkan
bahwa kita mampu memeluk dunia.
"Tapi sekarang? Kamu ingin kembali miskin?"
Wajahmu suram, dan tiba-tiba mata itu basah.
Tak mampu kuraba kemana arahmu bicara.
Bukankah kini kita berbahagia? Kurang apa aku
hingga kamu lebih memilih sebuah rumah mungil saja?
Tidak, bantahku. Itu ucap dalam hati.
Untuk tidak membuatmu tambah berduka.
Dan siang itu diam-diam kamu berangkat.
Tanpa pamit, sendirian saja. Sedih. Kutahu kamu
menuju rumah mungilmu. Jauh di ujung desa.
Bandung, 28 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H