1/
Senyumlah meski gerimis
terasa menyesak di dada
mendesak di tangis.
Kukira ini. hal paling mudah diingat
namun lebih sering dilupakan:
senyum.
Keramahan tulus di wajah
paling murah.
Sekadar menarik dua ujung bibir
ditambah sedikit membelalakkan mata
pun jadilah.
Maka senyum cepat tersaji
bernuansa harap dan puja-puji.
Seperti membukakan pintu bahagia
bagi siapapun yang terpapar
pesonanya.
Tapi sungguh
aku lupa cara berhikmah serupa.
Tampaknya kita memilih abai
untuk berbagi
untuk merawat kehadirannya.
2/
Di kampungku timbunan senyum
laris diperjual-belikan
bahkan ada pasarnya, kios, toko
dan pabrik perabitannya.
Senyum ditimbang, dibungkus plastik
untuk dibawa pulang.
Artis dan politikus paling rakus
memborong, dan mengoleksinya
untuk pilkada
untuk pilpres nanti, katanya.
3/
Senyum isteri kian langka
sedang senyum suami makin suram
menandai kepalsuan
senang yang dipaksakan.
Tentu saja senyum paling manis
mudah didapat bila ditukar lembaran uang.
Senyum oleh siapa saja
dan agak mahal sekarang.
4/
Pasar pun kebanjiran senyum palsu
hasil impor dari China dan Timur Tengah.
Produk lokal pun tak kalah canggih
sementara senyum asli punah
Pada akhir zaman
senyum tulus telah diangkat ke langit.
Itu kenapa kini setiap orang
lupa cara tersenyum.
Lupa hal yang paling mudah
dan murah
yang membedakannya
dengan satwa. Dengan benda-benda.
Maka senyumlah meski gerimis
menetes satu-satu di ubun
di wajah, di sisi cemas
dalam hati.
Senyumlah agar jiwa ini tak rapuh
dengan linangan air mata
dengan doa tak hendak sudah.
Pada munajat panjang
sejumput senyum menyongsong subuh.
Bandung - Manado, 10 -- 12 Juni 2018