Dengan demikian meski dalam konteks keimanan sering disebutkan bahwa 'aroma mulut orang berpuasa dimaknai sebagai wangi', Â pada hemat saya berdiam diri (dan mengerjakan ibadah atau muamalah) akan jauh lebih wangi. Dalam bahasa humor, suara orang berpuasa yang menyanyi memang merdu namun lebih merdu bila tidak menyanyi.
Saling menggoda sesama muslim yang berpuasa dengan menggambarkan aroma-rupa dan kelezatan satu makanan atau minuman mungkin tidak batal, tetapi pembicaraan itu tentu sebuah kesia-siaan. Â Nah, mengapa tidak berdiam diri saja. Bila kita di depan layar televisi dan sedang menayangkan aneka resep dan cara membuat suatu makanan maka mestinya sepat dipindah ke channel lain. Tidak justru membicarakannya sambil membayangkan kelezatan makanan/minuman itu.
Demikian pun mitos bukan tidak punya manfaat. Sampai tahap tertentu orang akan lebih berhati-hati  ketika menjalani puasa. Salah satu bentuk kehati-hatian ditunjukkan dengan adanya Imsak ketika waktu sahur akan segera berakhir. Hal itu mestinya juga memberi pembelajaran untuk selalu  bertindak hati-hati, misalnya saat mendengar Adzan Magrib.
Penting untuk melakukan cek dan ricek dengan jam, dengan siaran  televisi, dengan adzan dari masjid lain, dan sebagainya, sehingga tidak tidak mengikuti suara Adzan padahal salah putar, salah waktu atau entah kesalahan lain. Berbagai kesalahan itu bukan tidak pernah terjadi. Dan akibatnya orang yang berbuka lebih awal dari waktu yang seharunya (karena aneka kemungkinan kesalahan di atas) harus mengganti puasanya pada hari yang lain. Alasannya, orang yang bersangkutan sudah berniat berbuka, berbeda dengan orang yang lupa yang tidak berniat berbuka.
Itu saja sekelumit hal yang bisa saya tulis mengenai mitos selama bulan Ramadan. Mudah-mudahan bermanfaat.***2/6/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H